Langsung ke konten utama

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran




Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. ๐Ÿ˜

Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out!

Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well, English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan (listening, reading, writing dan speaking) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS yang memenuhi persyaratan minimal tersebut. Jadi pelatihan ini akan diakhiri dengan test IELTS yang terkenal mahal itu secara gratis. 

Seperti tahun dimana saya mengikuti program ini (2018), pada tahun 2019 program ELTA kembali diselenggarakan di 5 lokasi berbeda yakni Jayapura, Ambon, Kupang, Mataram dan Bali. Program ELTA dibuka untuk pelamar dari provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) serta pelamar dengan disabilitas dari seluruh provinsi di Indonesia. 

Proses pendaftaran ELTA dilakukan dengan dua jalur yakni mendaftar secara online pada tautan : https://www.australianawardsindonesia.org/id/ELTA2019 atau mengunduh hardcopy form pendaftaran pada website Australian Awards lalu mengisinya secara manual dan mengirimkannya pada panitia. Di saat tulisan ini sedang ditulis, pendaftaran untuk ELTA 2019 sudah ditutup. Jadi mungkin tulisan ini dapat menjadi bahan referensi untuk peminat di tahun yang akan datang atau juga untuk teman-teman yang sementara menunggu hasil seleksi administrasi.

Lika-liku Pendaftaran Hingga Lolos Seleksi

Tahap I : Pembobotan Aplikasi

Tahun 2017 adalah tahun pertama saya mendaftarkan diri dalam program ELTA untuk Provinsi NTT. Pada waktu itu saya baru saja mengantongi gelar sarjana pendidikan selama 6 bulan sehingga semangat untuk mendaftarkan diri dalam beasiswa apapun masih sangat tinggi. Ditambah lagi ada motivasi yang datang dari dua orang kakak senior di kampus yang baru saja selesai mengikuti program ELTA VII - NTT. Namun sayang, di tahun tersebut saya gagal di tahap seleksi administrasi. Perasaan saya tidak terlalu kecewa saat itu sebab selain ELTA saya juga sedang melamar beasiswa LPDP. Lalu, pada bulan berikutnya grafik semangat mendaftar beasiswa terjun bebas ketika menerima pemberitahuan tidak  lolos seleksi assesment online beasiswa LPDP.  Butuh waktu sampai 2 bulan untuk benar-benar move on karena jujur saat itu untuk beasiswa LPDP saya begitu percaya diri.

Meskipun sempat down di 2017, di tahun 2018 saya berniat untuk daftar lagi. ELTA dan LPDP masih menjadi wishlist yang saya doakan diawal tahun 2018 dan saya tempelkan besar-besar di dalam kamar. Seiring dengan berjalannya waktu, hati saya lebih diberatkan pada ELTA ketimbang LPDP. Fokus saya untuk ELTA 2018 memang cukup luar biasa. Hal ini terlihat dari Curriculum Vitae (CV) yang saya kirimkan untuk pendaftaran. Saya betul-betul merombak total CV saya dengan membuang banyak pencapaian-pencapaian yang saya peroleh sejak SMA dan kuliah. CV yang tahun sebelumnya mencapai 5 halaman akhirnya dikirimkan dengan panjang 2 halaman. Dalam dua halaman CV tersebut saya hanya mencantumkan beberapa point penting seperti identitas diri, pendidikan terakhir, pengalaman kerja, training dan voluntering yang pernah saya ikuti setelah memasuki dunia alumni.

Terlepas dari bagaimana panelis melakukan seleksi, saya pikir CV dalam seleksi administrasi adalah salah satu penilaian penting sehingga dalam menuliskannya saya tidak perlu bertele-tele mendaftarkan semua pencapaian seumur hidup saya. Saya yakin bahwa setiap orang hanya akan tertarik dengan hal berguna yang saya lakukan recently. Selain itu dalam mengisi aplikasi onlinenya pun saya begitu berhati-hati agar tidak ada yang terlewatkan. Semua file yang diminta dan diupload pada laman terakhir seperti CV, scan KTP, surat ijin atasan bagi yang sudah bekerja, transkip nilai dan hasil tes toefl terakhir (jika ada) harus dipastikan lengkap sebelum submitted.

Tahap II : Tes Bahasa Inggris dan Tes Akademik

Puji Tuhan, pada 23 Mei 2018, akhirnya email yang saya tunggu-tunggu datang. Saya dinyatakan lolos pembobotan aplikasi dan diundang untuk mengikuti tes bahasa inggris dan tes akademik pada tanggal 16 Juli 2018. Dalam tes bahasa inggris ada dua jenis yakni soal pilihan ganda dan menulis essay singkat. Soal pilihan ganda terdiri dari 40-50 soal seputar grammar dan reading sementara dalam menulis essay singkat, sebagai kandidat saya harus menuliskan sebuah essay dengan panjang 250 kata dalam waktu 40 menit sesuai dengan statement yang diberikan sebagai soal.

Tujuan dari tes bahasa inggris adalah untuk mengelompokkan kemampuan bahasa inggris kandidat dalam tiga kelompok yakni overqualified, intermediet dan underqualified. Program ini mencari mereka dengan kemampuan bahasa inggris intermediet atau dengan kata lain memperoleh skor antara 4 – 5 dalam standar IELTS. Sebelum mengikuti tes, banyak wejangan yang saya terima dari beberapa alumni terkait tes ini. Bahkan ada yang menyarankan demikian; jika kemampuan Bahasa Inggris yang dimiliki sudah sangat bagus usahakanlah agar tidak menjawab soal dengan sempurna sedangkan jika kemampuannya masih dirasa buruk, belajarlah materi-materi toefl dengan intens.

Terkait kemampuan Bahasa Inggris yang sudah bagus, walau ada yang menyarankan agar jangan bersungguh-sungguh menjawab soal dan mungkin ada beberapa teman lain yang sudah mempraktikkan saran tersebut, saya menolak untuk mengikutinya. Bagi saya melakukan saran tesebut sama dengan menipu diri sendiri dan orang lain. Selain itu akan ada pihak yang merasa tidak adil dan dirugikan, baik itu mereka yang benar-benar sangat membutuhkan training ini maupun pihak penyelenggara. Oleh karena itu, saya memilih untuk melakukan persiapan dengan sungguh-sungguh dan berusaha menjawab setiap soal semampu saya. Toh dengan begitu saya jadi tau kemampuan bahasa inggris saya yang sebenarnya sampai dimana meski saya sendiri sempat kuatir dengan writing saya yang amburadul dan tidak mencapai target 250 kata. At least whatever the result is, I have done my best.

Tes akademik dilanjutkan tepat setelah tes bahasa inggris selesai. Tes akademik ini lebih kepada tes logika dengan total 20an soal PG dalam bahasa Indonesia. Sama seperti tes-tes akademik yang pernah saya ikuti, soal-soal yang diberikan tergolong susah-susah gampang. Misalkan  soal dengan pernyataan-pernyataan yang mirip satu sama lain tetapi diminta untuk memilih paling benar atau mencocokan grafik dengan pernyataan-pernyataan yang paling sesuai. Bagi saya sendiri, tips agar bisa lolos dalam tahap ini adalah menjawab semua soal dengan percaya diri dan yang terpenting apa adanya.

Tahap III : Wawancara

Hasil tes tahap II diumumkan sehari kemudian dan saya kembali dinyatakan lolos ke tahap wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 17 – 20 Juli 2018. Kandidat yang berasal dari luar Kota Kupang memperoleh kesempatan wawancara lebih dahulu, dengan demikian saya yang berasal dari Kota Kupang harus menunggu sampai hari terakhir yakni tanggal 20 Juli. Oh iya, untuk seleksi tahap II dan III ini seluruh biaya akomodasi dan transportasi ditanggung sepenuhnya oleh pihak IALF (Indonesia Australia Language Foundation) dan  kandidat hanya perlu mempersiapkan diri untuk mengikuti semua rangkaian seleksi.

Kembali ke wawancara. Tahap ini berlangsung selama 10-15 menit untuk masing-masing peserta. Awalnya karena rasa gugup menanti di luar ruangan wawancara saya berpikir waktu tersebut cukup lama, namun kenyataanya berbeda. Setelah memasuki ruangan dan diwawancarai, waktu berjalan dengan sangat cepat. Waktu itu ada 3 orang interviewer yang mewawancarai saya diantaranya seorang native speaker dari IALF Bali, koordinator ELTA untuk NTT (our beloved super mom, Mrs. Anna) dan seorang perwakilan dari AAI (Australian Awards Indonesia).

Wawancara dalam Bahasa Inggris hanya diberikan oleh si native speaker sementara kedua interviewer lainnya mewawancarai saya dalam Bahasa Indonesia. Pertanyaan yang diberikan oleh native speaker kepada saya waktu itu seputar tentang diri saya, keluarga dan hobi. Saran seorang kakak senior ELTA VII – NTT kepada saya terkait wawancara dengan native speaker ini, usahakan agar jawaban yang diberikan jangan hanya satu kalimat. Kalau bisa ditambah dengan dua atau tiga kalimat pendukung. Misalkan ketika ditanya what is your hobby?, disarankan jangan hanya menjawab I love traveling. Tapi sertakan juga suka traveling ke mana dan bila perlu sebutkan satu tempat yang berkesan saat melakukan traveling dengan alasannya. Satu lagi, tidak perlu takut dengan bahasa inggris yang jatuh bangun. Bicara saja apa yang ingin dibicarakan dengan sopan. Saya mencoba untuk mengaplikasikan saran tersebut, walaupun dengan terbata-bata karena kemampuan speaking saya waktu itu masih sangat buruk.

Mengenai pertanyaan pewawancara kedua dan ketiga saya lupa pembagiannya bagaimana. Akan tetapi seingat saya kedua orang ini bertanya banyak tentang motivasi saya mendaftarkan diri pada program ELTA dan AAS nanti, Universitas dan jurusan apa yang akan diambil jika lolos  AAS, kenapa memilih Universitas dan jurusan tersebut serta kontribusi apa yang akan dilakukan terhadap daerah atau pekerjaan saat ini jika selesai studi. Saya rasa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak jauh berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan beasiswa pada umumnya. 

Dalam wawancara ini, selain kemampuan berbicara bahasa inggris, mental saya juga cukup diuji. Puji Tuhan saya bisa melalui tahap wawancara bersama kedua pewawancara ini dengan percaya diri karena dari jauh-jauh hari saya sudah mempersiapkan “barang-barang dagangan” untuk dijual dalam wawancara sambil mengingat lagi petuah-petuah senior ELTA sebelumnya. Mereka berpesan bahwa dalam “menjual” saya harus menunjukan kalau saya layak menjadi salah satu peserta ELTA bukan seperti pengemis bukan pula dengan sombong.

Pada akhirnya, tidak perlu harap-harap cemas untuk waktu yang lama. Setelah wawancara, 6 hari kemudian tepat pada tanggal 26 juli 2018 saya memperoleh email yang menyatakan bahwa saya resmi ditetapkan sebagai peserta ELTA IX – NTT dan akan mengikuti training selama 3 bulan terhitung tanggal 24 September – 15 Desember 2018. 

Demikianlah cerita saya tentang lika-liku proses pendaftaran hingga dinyatakan lolos program ELTA IX – NTT pada tahun 2018 kemaren. Cerita tentang bagaimana proses saya selama mengikuti training ini dan bertemu orang-orang keren dengan mimpi yang sama akan saya ceritakan pada tulisan berikutnya.  See ya! ๐Ÿ˜‡

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Ferry T

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di