Usai melewati badai dan gelombang yang memabukan, tiba-tiba saja aku sudah terombang ambing di dekat sebuah pulau. Dari kejauhan sebuah pelabuhan tertangkap penglihatanku. Ia terlihat rapuh. Disekeliling kerapuhannya laut terlihat biru pekat. Dalam. Membuatku ragu untuk mendekat. Sekalipun aku pandai mengapung, badai telah menghabiskan seluruh energiku. Tentu aku tak akan sanggup melepaskan diriku jika aku ikut roboh bersamanya ke dalam laut yang dalam itu.
Hari semakin terik, matahari tepat naik di atas kepala. Lambat laun, sisa-sisa energiku mulai sirna. Aku semakin merasa lelah terombang ambing. Lalu pada akhirnya kuputuskan mendekat. Ku jatuhkan jangkarku dengan hati-hati, takut melukainya. Benar, pelabuhan itu terlihat rapuh sekali. Disekelilingnya laut begitu dalam. Jangkarku bahkan tak menemui dasar laut. Mengapung. Sesaat aku hampir terhempas kembali ke lautan luas hingga kurasakan jangkarku terpaut pada sebuah beton. Ternyata itu adalah fondasi pelabuhan tersebut. Tak seperti di permukaan, fondasi itu sangat kuat. Jangkarku melekat erat padanya. Mungkin suatu hari jika ia roboh seluruhnya, fondasi yang kuat ini akan tetap bertahan untuk waktu yang lama pikirku.Sejak itu, aku menghabiskan waktu berbulan-bulan di samping pelabuhan itu. Kami menjadi sangat dekat. Setiap hari kami bercengkrama bersama ombak dan burung laut di waktu terang, lalu jatuh tertidur bersama di bawah taburan bintang saat gelap. Kami mulai memimpikan ribuan senja untuk dinikmati bersama.
Suatu hari, serpihan masa lalu datang menghampiriku. Ia mengajakku mengelilingi pesisir sejauh yang aku bisa, selama jangkarku masih terpaut pada pelabuhan itu aku tak bisa berkeliaran jauh. Kunikmati perjumpaan dengan serpihan masalaluku tanpa kusadari bahwa ia datang untuk menggoreskan luka yang lebih dalam. Setelah tahu maksudnya mengunjungi ku, ku putuskan meninggalkannya lebih dahulu. Tanpa ada jawaban atas pertanyaan kenapa yang menggema di belakangku.
Aku terhuyung kembali ke Pelabuhan rapuh itu dan membenamkan diri dalam pelukannya. Aku menangis tanpa berkata apapun. "Maafkan aku telah menangisi hal lain didepanmu", ujarku saat tangisku mulai reda. Namun setelah itu, aku mulai membiarkan diriku terapung tanpa nyawa.
Pelabuhan rapuh terus memanggilku, yang bisa kulakukan hanya mengacuhkannya lalu sibuk dengan pikiran dan lukaku sendiri. Kubiarkan situasi ini berlangsung berhari-hari hingga beberapa bulan. Masih kudengar ia memanggilku. Sampailah aku pada titik jenuh dan mulai memikirkan bagaimana bisa pergi darinya. Segala cara telah kucoba, namun ia masih terus memanggil dan mendekapku dengan eratnya. Sayang, kebaikan itu pun menemui kesia-siaan ketika berhadapan dengan keegoisanku.
Setelah 6 bulan terpaut, akhirnya jangkarku kutarik dengan paksa darinya lalu pergi tanpa menoleh kebelakang. Ia terus memanggilku sampai kudengar suaranya menghilang. Mungkin Ia telah roboh akibat ulahku. Tempat jangkarku terpaut pasti rusak berat, goresannya cukup lebar. Masa bodo dengan itu semua, aku hanya ingin sendiri. Memikirkan lukaku. Mengurus perasaanku sendirian. Dan menolak kehadiran rasa bersalah dalam bentuk apapun, yang tak ku sangka kelak akan menghantuiku.
Usai perpisahan yang didominasi keegoisanku itu, aku malang melintang di semua pelabuhan yang ada. Sekalipun aku berniat menjatuhkan jangkar, tak ada satupun yang bersedia tubuhnya terpaut dengan jangkarku. Sudahlah, intinya aku masih bebas berkeliling bersama luka ini. Pilihan-pilihan besar datang menghampiriku satu persatu, keadaan mentalku usai badai waktu itu perlahan pulih. Luka ku mulai hilang.
Beberapa hari ini, rindu dan rasa bersalah terhadap pelabuhan rapuh itu tiba-tiba membekapku. Menjebloskan aku dalam rindu yang menghantarkan aku kembali padanya. Ia tampak baik. Kerapuhannya mulai memudar. Mungkin telah tertambat jangkar lain. Jangkar yang membantunya kembali bergairah, pikirku.
"Aku merindukanmu", ujarku penuh harap.
"Terima kasih", ucapnya sopan. Tak kurasakan kehangatan dalam nada bicaranya seperti dahulu. Atmosfir di antara kami kaku.
"Percuma aku merindu, kau tak merindukanku", ucapku kesal
"Percuma aku setia, tapi selalu dilupakan", balasnya
Telak. Ombak yang memukulku tidak kencang, tapi aku terhempas kesadaran. Luka akibat goresan kuat jangkarku pasti masih ada, jauh di kedalaman air. Entah sudah tertutup karang atau tidak, apa hak ku untuk mengetahuinya? Bukankah akulah yang meninggalkan? Bukankah akulah yang menghancurkannya padahal ia masih berusaha menggapaiku. Siapa ini yang membicarakan rindu dengan egoisnya?
Sepertinya jika pembicaraan dilanjutkan mungkin hanya akan menuai tengkar. Ah sudahlah, ia berhak marah sekalipun ia tak mau mengaku. Ia berhak pulih dan bahagia sekalipun ia tak menunjukannya. Masih bisa berbicara dengannya, menanyakan kabar dan mengetahui apa yang ia lakukan sudah cukup membuatku senang.
Justru yang kutakutkan saat ini, saat menghampirinya seperti ini adalah jika rinduku sudah tidak relevan lagi. Yang kutakutkan adalah jika rinduku hanya akan menyakitinya atau pihak lain, tempat rindunya tertuju saat ini.
Sekalipun rindu adalah hak segala mahkluk, tetap saja pada prinsipnya hak-hak mahkluk lain harus dihargai. Kita tidak bisa memaksakan hak kita lalu menciderai hak yang lain.
Maka pada akhirnya, semoga pelabuhan rapuh itu sudah bukan tempat persinggahan hati yang terluka. Tetapi menjelma rumah untuk hati yang tulus dan jiwa yang benar-benar ingin pulang. Agar ia menjadi kokoh sebagaimana harusnya ia diciptakan.
Sebelum aku beranjak pergi lagi, ku peluk dirinya. Sesuai permintaannya yang sayup-sayup terdengar kala itu;
Setelah berkali-kali memimpikanmu, saya ingin bertemu lalu memelukmu. Saat itulah saya akan ikhlas melepasmu pergi. Dalam doa, dalam pelukan.
Tak ku sangka, itu juga menjadi permintaanku padanya saat ini. Permintaan kami yang terakhir.
***
Kita adalah dua organis kompleks yang pernah menyatu melalui suatu proses anabolisme kehidupan. Ku kira, semakin kompleks kita bersama, kita akan khelat. Nyatanya siklus hidup yang enzimatis mengharuskan kita menjumpai katabolisme. Kini, kadang dengan sisa-sisa partikel kenangan, rindu tereksitasi sampai orbital tak tentu. Terpental dan menghambur melampaui kecepatan cahaya dalam ruang hampa. Terkristalisasi dalam semesta baru. Pada batas ketiaadaan, insting kematian dan kehidupan melebur.
Defusi
Infinitif
Jakarta, 15 Desember 2021
Komentar
Posting Komentar