Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Sumaq Risuchun

Kau kabut... Demi memandangmu, aku memilih merapuh dengan sukarela... Rasa ini hidup secara vegetatif, seperti gulma yang keras kepala... Sering ku cabut berkali-kali, namun ia selalu tumbuh kembali seolah tak ada yang terjadi.... Sementara perasaanmu seperti agen misterius, tanpa alamat tetap atau nomor telepon... Satu-satu nya mailbox yang ku simpan sejauh ini adalah peluk dan perhatianmu yang kadang-kadang itu.... Akhir-akhir ini matahari musim semi terang sekali,  Kau mulai tak muncul.... Mungkin karena kau selalu berharap jawaban terhadap ratusan apa sedangkan aku hanya mampu menjawab satu kenapa,.. Sial, benakku berulah... Kemarin kau menampakan diri lagi.... Bukan dalam rupa kabut, namun fatamorgana.... Diam-diam kau bisikan "sayang, dunia kita tak berkaitan satu sama lain" Sumaq risuchun!* Hobsonville, 17 November 2019 *Bolivia: Selamat Tinggal

Hamil di Luar Nikah

Ilustrasi Wanita Hamil (sumber: republika.co.id) Peringatan:  Ditulis pakai bahasa Kupang, dengan penuh emosi. Yang sering terjadi di ketong pung lingkungan sekitar kalau ada anak perempuan yang hamil di luar nikah pasti akan kena guyur dengan stigma-stigma (pandangan) seperti: perempuan sonde bae, perempuan bagatal, perempuan kotor, perempuan nakal, pendosa besar (sama kek yang omong snd pernah buat dosa), anak yang bikin rusak nama baik keluarga, akibat pake baju sembarang makanya laki-laki nae ame, sapa suruh pulang malam atau dapat omng dari pihak keluarga yg menghamili "bikin rusak ketong pung anak laki-laki" dan stigma-stigma jelek lainnya (kalau ada stigma lain bisa tambahkan sendiri di kolom komentar). Pertanyaannya: kenapa e pandangan-pandangan buruk kek begitu dong lari semua pi anak perempuan? Kenapa itu stigma semua seolah-olah bilang kalau perempuan yang hamil di luar nikah tuh akibat dia pung salah sendiri? Kenapa yang kasih hamil son

Sampah dan Diskriminasi Gender

Auckland Museum Saya lupa pernah diskusikan ini dengan siapa atau mungkin ada dalam sesi pembelajaran di sini (Auckland). Kalau tidak salah dalam diskusi tersebut, ada sebuah pertanyaan yang muncul tentang siapa penghasil terbesar sampah di Indonesia dan jawabannya adalah perempuan.  Pernyataan tersebut bertolak dari fakta yang kami diskusikan bahwa sebagian besar sampah di Indonesia adalah sampah rumah tangga (48 % dari total produksi sampah Indonesia, baik sampah plastik maupun sisa-sisa makanan). Ketika dihubungkan dengan urusan konsumsi dan pengelolaan sampah di rumah tangga maka yang bertanggung jawab adalah perempuan (termasuk ibu rumah tangga dan pekerja rumah tangga). Dengan kata lain, perempuan adalah yang paling disalahkan akibat penumpukan sampah. Jujur saja, saat itu pernyataan ini agak mengganggu pikiran saya. Setelah melakukan research dan baca-baca, maka saya menanggapi pernyataan ini sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender.  Berikut alasan yang membua