Langsung ke konten utama

Sampah dan Diskriminasi Gender

Auckland Museum

Saya lupa pernah diskusikan ini dengan siapa atau mungkin ada dalam sesi pembelajaran di sini (Auckland). Kalau tidak salah dalam diskusi tersebut, ada sebuah pertanyaan yang muncul tentang siapa penghasil terbesar sampah di Indonesia dan jawabannya adalah perempuan. 

Pernyataan tersebut bertolak dari fakta yang kami diskusikan bahwa sebagian besar sampah di Indonesia adalah sampah rumah tangga (48 % dari total produksi sampah Indonesia, baik sampah plastik maupun sisa-sisa makanan). Ketika dihubungkan dengan urusan konsumsi dan pengelolaan sampah di rumah tangga maka yang bertanggung jawab adalah perempuan (termasuk ibu rumah tangga dan pekerja rumah tangga). Dengan kata lain, perempuan adalah yang paling disalahkan akibat penumpukan sampah. Jujur saja, saat itu pernyataan ini agak mengganggu pikiran saya. Setelah melakukan research dan baca-baca, maka saya menanggapi pernyataan ini sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender. 

Berikut alasan yang membuat saya meyakini pernyataan tersebut sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender.

Pertama, kita di Indonesia masih hidup dalam lingkup budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam urusan domestik. Jadi secara otomatis urusan konsumsi keluarga mulai dari belanja sampai ke pembuangan sisa-sisa konsumsi masih dititikberatkan kepada perempuan. Kemudian anggapan bias gender seperti kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga juga menghantarkan perempuan pada posisi ini.

Alasan kedua yang memperkuat alasan pertama adalah di kota bahkan mungkin juga sudah sampai ke desa, perempuan semakin ditekan dengan menjamurnya perilaku konsumtif yang didorong oleh industrialisasi perbelanjaan. Mendukung hal ini, ada temuan dari salah satu toko daring di Indonesia menunjukkan dominasi perempuan dalam perbelanjaan daring, di mana proporsi pembeli perempuan sebesar 66,28% dan penjual perempuan sebesar 55,75% (bisnis.com, 2018). Pertanyaannya, bagaimana industri perbelanjaan mempengaruhi perilaku konsumtif perempuan? Saya pikir ini jelas kalau kita melihat iklan-iklan yang menjadi ujung tombak persaingan dunia bisnis yang kapitalistik.

"sayang anak, beli ini...."
"sayang suami, beli itu...."
"mau kulit putih bersih mentereng, badan langsing dan langsat pakai ini"
"dan bla... bla... bla..."

Kalimat-kalimat iklan tersebut terlihat seperti "pemaksaan secara halus" agar perempuan merubah barang yang sebetulnya hanya keinginan menjadi kebutuhan. Hasil akhirnya, terjadilah penimbunan sampah dalam rumah apabila keinginan itu tidak terpuaskan, atau tidak disukai suami dan anak atau ada lagi barang lain yang diiklankan dengan lebih canggih.

Pertanyaannya, apakah laki-laki dalam suatu rumah tangga tidak menghasilkan sampah? Bukankah laki-laki ikut mengkonsumsi apa yang perempuan belikan untuk keluarga?

Merefleksikan pertanyaan tersebut, saya sampai pada pemikiran bahwa, melihat perilaku manusia terhadap pengelolaan sampah rumah tangga, jangan hanya menitikberatkan kepada perempuan hanya karena konstruksi budaya menempatkan perempuan di dapur. Masalah pengelolaan sampah adalah masalah yang harus dilihat dari hulu ke hilir dan jika ditelusuri dua alasan di atas mungkin tidaklah cukup.

Setelah membaca ini mungkin ada yang berkomentar,
"ah itu hanya akan-akalan saja agar perempuan tidak disalahkan",
"hanya itu saja kok pakai bawa-bawa gender yang ujung-ujung perempuan selalu benar dan laki-laki selalu salah",

Kalau ada yang komen begini, maka perlu sekali untuk belajar ulang atau baca lebih banyak lagi tentang kesetaraan gender dan gender bias. Bicara gender itu pembagian peran yang disesuaikan dengan kemampuan manusia dan gender itu bukan sekedar perempuan dan laki-laki.

Auckland, 01 Desember 2019

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun (HAKTP) 2019 lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Fer...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...