Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course, kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar (special interest) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College.
Greenpeace New Zealand
Untuk tiba di kantor Greenpeace,
pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat
saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Ferry Terminal, City
Center, saya kemudian berjalan kaki lagi sekitar 10 menit ke stasiun Britomart
dan menaiki bus nomor 27H tujuan 11 Akiraho Street, Mt. Eden Auckland. Demikian
alamat kantor Green Peace New Zealand yang ditulis Caroline Novak, mentor coordinator kami di email saya.
Kantor Greenpeace New Zealand |
Saya tiba sekitar 3 menit lebih awal dari seorang rekan saya Alfian, yang kebetulan memiliki jadwal kunjungan yang sama. Ketika diijinkan untuk masuk sebagai tamu ke dalam, hal pertama yang kami kagumi adalah sistem keamanan yang dimiliki lembaga tersebut. Segalanya berbasis teknologi yang canggih dan cukup ketat. Saya pikir sangat wajar untuk lembaga advokasi sekaliber Greenpeace untuk memiliki security system yang ketat dan canggih sebab mereka merupakan lembaga advokasi yang cukup vokal dalam menyuarakan keadilan lingkungan di Negeri Kiwi tersebut. Lawan mereka adalah koorporasi dan pemerintah nakal yang sistem intelegensinya mungkin agak jauh di atas Indonesia.
Seusai mengisi daftar tamu pada
komputer yang disediakan, kami langsung disambut oleh Steve Abel, seorang
senior campaigner Greenpeace New Zealand yang ditugaskan untuk menemani kami
belajar hal-hal yang ingin kami pelajari dari lembaga ini selama kurang lebih
dua jam. Hal pertama yang dilakukan Steve Abel ketika menyambut kami adalah
membawa kami ke dapur Greenpeace dan mempersilahkan kami membuat minuman kami
sendiri. Untuk sampai ke dapur kami melewati ruang kerja yang cukup sibuk saat
itu. Beberapa orang berada di meja kerjanya, menatap laptopnya masing-masing.
Ada juga yang tengah membentuk kelompok diskusi kecil.
Di Dapur kami bercakap dengan
seorang Campaigner Parempuan, Holly Dove. Kalau tidak salah kami membicarakan
terkait kaitan perusahaan pertambangan di New Zealand dan bagaimana dampak
advokasi Greenpeace terhadap nasib buruh yang bekerja di sana. Kebetulan Holly
sedang mengadvokasi sebuah kasus tambang migas di salah satu pulau terpencil di
Utara New Zealand. Sayangnya pembicaraan
kami dengan Holly tidak terlalu lama sebab Steve mengajak kami untuk turut
serta dalam sebuah rapat perencanaan kampanye bersama tim kampanye laut di
ruangan bawah.
Sungguh sebuah kesempatan yang menarik pikir saya waktu itu. Karena rapat tersebut cukup rahasia, saya tidak akan menceritakan secara detail terkait strategi apa yang mereka susun saat itu dengan sangat well organized di sini. Intinya yang mereka lawan dalam kampanye tersebut adalah sebuah perusahaan perikanan bernama Tally yang telah mencemari laut dengan limbah plastik. Mereka memanfaatkan momen Hallowen untuk menjalankan taktik yang akan mereka gunakan seperti biasa, menebarkan baliho besar bertuliskan Ghost Kill diatas gedung perusahaan tersebut , ciri khas Greenpeace. Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Koordinator kampanye laut (Ocean Campaigner), Jessica Desmond, yang masih sangat muda tapi sudah bergelar Master Biologi dari Harvard dan beberapa orang dari tim fundraising dan tim komunikasi.
Setelah rapat selesai, saya dan
Jessica sempat membahas tentang sebuah rencana kebijakan internasional yang
akan mengijinkan pertambangan minyak di lautan lepas. Jessica sangat tidak
menyetujui hal tersebut, baginya itu adalah sebuah bencana Internasional bagi
laut dunia. Untuk itu ia akan terlibat dalam sebuah konferensi tingkat
internasional untuk turut menolak kebijakan tersebut. Sialnya, karena banyak
informasi yang mengalir waktu itu saya lupa mencatat nama lembaga yang akan
menetapkan kebijakan itu dan nama konferensi yang akan diikuti Jessica. Kami
berbincang cukup lama dan sempat berswafoto bersama dengan latar stasiun kereta
Mt. Eden yang berada persis di belakang kantor Greenpeace.
Bersama Jessica Desmond |
- Tujuan (what do we want to happen)
- Target (who has the formal power to give us what we want)
- Pemetaan Aktor (what motivates them? who are they? What are the barriers to them doing that? Who influence them?)
- Pesan Kampanye (what message will make our target do what we want). Susunan kalimat dalam pesan kampanye : Nilai-situasi-tuntutan-aksi
- Value (nilai): statement that people can agree with (could be relevant with the culture)
- Situation (situasi): what is really happening that threaten the value
- Demand (tuntutan): what do we want to happen
- Action (aksi): tactic that we want people to do
5. Taktik (how do we deliver our communication/demand ; posters, protest or petition)
Kira-kira begitu, ada lima hal
penting dalam menyusun sebuah taktik kampanye menurut Steve yang sempat saya
catat. Beruntungnya kelima hal tersebut merupakan dasar yang membuat saya mampu
mengikuti workshop bersama Anita Tang dan Kirstin dalam sesi Campaigning di
minggu berikutnya.
Rima-Steve-Alfian |
Phia, Waiata dan Parakore Ki Tamaki
Hampir jam makan siang (kira-kira jam 11.30 NZ Time), saya harus segera pamit dari kantor Greenpeace, melewatkan traktiran makan siang bersama staff Greenpeace dan bergegas menaiki kereta menuju Mt. Albert. Di sana Phia dan Waiata sudah menunggu untuk bertemu rangatahi (remaja-remaja) Para Kore Ki Tamaki di Western Spring College pada pukul 12.00 NZ Time. Saat tiba di stasiun Mt. Albert, hujan turun dengan deras. Padahal saya sudah mengecek perkiraan cuaca sejak pagi dan harusnya hari itu akan cerah. Akan tetapi begitulah Auckland, cuacanya susah ditebak (unpredictable). Hal terbaik yang dilakukan Phia dan Waita sebelum menuju ke Western Spring College adalah mentraktir saya segelas espresso panas berukuran medium di sebuah kafe. Persetan dengan asam lambung. Saya kedinginan.
Phia (kiri) dan Waiata (kanan) |
Western Spring College adalah
sekolah yang saya dan mentor saya Niki Harre kunjungi sehari sebelum pertemuan
dengan Para Kore Ki Tamaki ini. Saya menebak-nebak kemungkinan akan bertemu
lagi dengan siswa-siswa yang sama seperti sehari sebelumnya, ketika Phia dan
Waiata memimpin jalan ke dapur sekolah. Tebakan nyatanya saya tepat. Akan
tetapi kali ini mayoritas nya remaja perempuan. Mereka anak-anak perempuan yang
cukup aktif menurut saya. Di usia yang masih dibawah 17 belas tahun, mereka
sudah terlibat dalam aksi-aksi protes seperti Climate Strike dan IHUMATAO
(sebuah kasus tanah masyarakat adat kala itu), mendirikan komunitas dan
terlibat aktif dalam kampanye gaya hidup zero waste. Anak-anak ini
mengingatkan saya pada Salsabila Khairunisa di Indonesia yang sudah aktif
berkampanye isu lingkungan sejak usia remaja.
Dalam percakapan santai sambil
menikmati cemilan duritos dan roti, kami memperkenalkan diri masing-masing dan
secara bergiliran menyampaikan kenapa terlibat dalam aktivisme untuk lingkungan
hidup. Saya cukup kagum melihat antusiasme mereka dalam menyampaikan
jawaban-jawaban mereka;
“Alam adalah rumah”
“Menjaga lingkungan berarti
menjaga Papatuanuku (Ibu Bumi) dan Ranganui (Langit)”
“Alam adalah titipan generasi
masa depan”
“Tidak ada masa depan bagi bumi
yang rusak”
“Kita tidak punya banyak waktu
lagi, perubahan iklim itu nyata”
dan lain sebagainya.
Alasan-alasan yang cukup sederhana
namun tidak sesederhana keaktifan mereka dalam aktivisme lingkungan.
Saya kemudian merefleksikan
beberapa hal yang mungkin mendorong mereka sehingga cukup aktif berpartisipasi
dengan kesadaran yang tinggi. Pertama, jika dilihat dari tingkat literasi,
akses terhadap informasi dan budaya membaca di negara tersebut sangat tinggi. Kedua,
mereka telah dibiasakan oleh orang tua untuk hidup dengan alam dan kesadaran terhadap keselamatan lingkungan
hidup sudah dibangun dari rumah sebelum mereka masuk ke sekolah. Ketiga, budaya
Maori yang cukup kuat. Maori merupakan masyarakat asli di New Zealand yang hubungan
spiritualitasnya dengan alam cukup tinggi. Keempat, sekolah mendukung setiap
aktivitas siswa tersebut. Sistem pendidikan di New Zealand bahkan menerapkan
kurikulum yang mengintegrasikan isu environmental
sustainability (keberlanjutan lingkungan) ke dalam setiap mata pelajaran.
Dengan demikian, setiap mata pelajaran yang diterima dan dipelajari di dalam
maupun luar kelas selalu menanamkan informasi dan kesadaran untuk menjaga
lingkungan hidup demi mencapai keberlanjutan.
Para Kore Ki Tamaki |
Jika dikaitkan dengan Theory of Engagement (Teori Keterlibatan) milik Niki Harre (Profesor Psikologi di University of Auckland), keempat hal tersebut telah berhasil menanamkan suatu nilai yang sama di dalam anak-anak tersebut (common value). Kunci utama dari keterlibatan seseorang terhadap suatu isu sosial adalah karena mereka memiliki nilai yang kuat terhadap isu tersebut. Nilai yang kuat ini jika dimiliki oleh banyak orang, bayangkan keterlibatan massa dalam suatu aksi jika seorang campaigner menyasar dengan tepat nilai tersebut dalam pesan kampanyenya.
Mendaki Mt. Eden Summit, di samping belajar
Satu setengah jam kemudian, Phia dan Waita
mengantar saya di stasiun Mt. Albert dan dari sana saya akan naik kereta untuk
kembali ke City Center. Sungguh satu hari yang cukup panjang bagi saya.
Banyaknya informasi yang saya terima sepanjang hari cukup menyiksa otak saya.
Saya belum sempat makan siang. Waktu sudah pukul 13.45 siang. Sayapun
memutuskan turun kembali di stasiun Mt. Eden dan mencari makan siang. Kebetulan
ada sebuah warung fish and chips yang
tidak jauh dari kantor Green peace. Saya membeli makan siang di sana dan
berencana untuk menyantapnya di puncak Mt. Eden Summit.
Mt. Eden Summit satu dari 200-san
gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi di Auckland dan menjadi salah satu
spot wisata yang terkenal. Untuk sampai ke sana dari titik saya membeli makan
siang diperlukan waktu sekitr 20 menit. Sekalipun cuaca sudah mulai terik
kembali, pohon-pohon besar yang rindang menyelamatkan saya dari sengatan
radiasi ultraviolet yang katanya intensitasnya lebih tinggi dibandingkan
Indonesia. Hal ini dikarenakan New Zealand sangat dekat dengan lokasi penipisan
lubang ozon. Tak heran semua orang akan menggunakan kacamata ketika keluar dari
rumah. Jadi bukan untuk gaya-gayaan, mengingat dampak dari radiasi sinar UV
dapat menyebabkan katarak, maka mereka disarankan untuk menggunakannya.
Penjelasan ini saya peroleh dari Barry Griben, seorang dokter sekaligus suami
dari Laila Harre (Manager Program INSPIRASI) ketika saya terkena iritasi mata
di beberapa minggu pertama tinggal di Auckland.
Selain pohon-pohon yang melindungi
saya, kicauan burung native juga turut menamani saya dalam pendakian ke puncak
Mt. Eden. Dari sekian jenis burung asli di New Zealand, saya hanya mengenal
satu kicauan, yakni kicauan dari burung Piwakawa-kawa (semacam burung gereja).
Burung tersebut merupakan jenis burung favorit Ezra, anak pertama hostfamily
tempat saya tinggal. Bagaimana tidak,
hampir setiap weekend Stephen, ayahnya, akan membawa kami berjalan kaki atau
bersepeda ke dalam bush (rimbunan
pohon) untuk sekedar melihat burung tersebut.
Mendekati puncak, saya melihat
banyak mobil tour pariwisata berparkiran. Sepertinya keadaan di puncak cukup
ramai. Saya mulai bertemu dengan wisatawan-wisatawan asing yang didominasi oleh
orang-orang Asia. Sepertinya orang Asia sangat menyukai kota ini. Selain
wisatawan, 40 persen dari penduduk di Kota Auckland adalah orang Asia.
Keberadaan orang Asia juga mempengaruhi wisata kuliner yang ada di Auckland.
Kuliner-kuliner Asia cukup mendominasi di sana. Ini juga yang membuat saya
tidak terlalu home sick dengan makanan dari Indonesia. Sekalipun rasanya jauh
berbeda, saya masih bisa menikmati Nasi Goreng pedas Malaysia, hingga Bakso dan
Mie Ayam.
Sesampainya di Puncak, fish and chips saya sudah cukup dingin. Dengan cepat-cepat saya menghabiskannya lalu menikmati pemandangan kota Auckland hanya untuk tidak percaya bahwa saya benar-benar berada di sana. Pasalnya Auckland telah menjadi salah satu kota impian yang ingin saya datangi sejak 2018 selain London di Inggris dan Edinburgh di Scotlandia.
Setelah
tinggal selama hampir 4 bulan, bagi saya Auckland adalah kota dimana saya bebas
menikmati petualangan seorang diri ke setiap sudut-sudutnya. Kota yang membuat
saya untuk tidak sedikitpun takut kalau-kalau tersesat, bahkan sejak hari ketiga
memijakan kaki diatasnya. Kota yang hanya memberikan saya culture shock pada persendian lutut karena terlalu banyak berjalan
kaki. Kota di mana kebebasan melangkah dan berpikir hanya milik saya seorang.
Semoga nanti bisa ke sana lagi.
Atau mungkin liat London dan
Edinburgh dulu ya. Tapi terserahlah ke mana angin membawa saya (ceilah). Untuk
itu saya selalu termotivasi dengan kalimat yang di sampaikan Nadhira, seorang
dokter perempuan muda Indonesia, lulusan Harvard
“Dream high! Because Our only limit is our mind”,
Bermimpilah dengan tinggi, karena
satu-satunya yang membatasi kita adalah pikiran kita sendiri.
Tidak apa dibilang tidak realistis, tapi saya selalu percaya dengan kekuatan mimpi dan bahwa setiap orang berhak untuk punya mimpi.
Bersantai Mt. Eden Summit |
Komentar
Posting Komentar