Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019


Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course, kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar (special interest) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College.

Greenpeace New Zealand

Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Ferry Terminal, City Center, saya kemudian berjalan kaki lagi sekitar 10 menit ke stasiun Britomart dan menaiki bus nomor 27H tujuan 11 Akiraho Street, Mt. Eden Auckland. Demikian alamat kantor Green Peace New Zealand yang ditulis Caroline Novak, mentor coordinator kami di email saya.

Kantor Greenpeace New Zealand

Saya tiba sekitar 3 menit lebih awal dari seorang rekan saya Alfian, yang kebetulan memiliki jadwal kunjungan yang sama. Ketika diijinkan untuk masuk sebagai tamu ke dalam, hal pertama yang kami kagumi adalah sistem keamanan yang dimiliki lembaga tersebut. Segalanya berbasis teknologi yang canggih dan cukup ketat. Saya pikir sangat wajar untuk lembaga advokasi sekaliber Greenpeace untuk memiliki security system yang ketat dan canggih sebab mereka merupakan lembaga advokasi yang cukup vokal dalam menyuarakan keadilan lingkungan di Negeri Kiwi tersebut. Lawan mereka adalah koorporasi dan pemerintah nakal yang sistem intelegensinya mungkin agak jauh di atas Indonesia.

Seusai mengisi daftar tamu pada komputer yang disediakan, kami langsung disambut oleh Steve Abel, seorang senior campaigner Greenpeace New Zealand yang ditugaskan untuk menemani kami belajar hal-hal yang ingin kami pelajari dari lembaga ini selama kurang lebih dua jam. Hal pertama yang dilakukan Steve Abel ketika menyambut kami adalah membawa kami ke dapur Greenpeace dan mempersilahkan kami membuat minuman kami sendiri. Untuk sampai ke dapur kami melewati ruang kerja yang cukup sibuk saat itu. Beberapa orang berada di meja kerjanya, menatap laptopnya masing-masing. Ada juga yang tengah membentuk kelompok diskusi kecil.

Di Dapur kami bercakap dengan seorang Campaigner Parempuan, Holly Dove. Kalau tidak salah kami membicarakan terkait kaitan perusahaan pertambangan di New Zealand dan bagaimana dampak advokasi Greenpeace terhadap nasib buruh yang bekerja di sana. Kebetulan Holly sedang mengadvokasi sebuah kasus tambang migas di salah satu pulau terpencil di Utara New Zealand.  Sayangnya pembicaraan kami dengan Holly tidak terlalu lama sebab Steve mengajak kami untuk turut serta dalam sebuah rapat perencanaan kampanye bersama tim kampanye laut di ruangan bawah.

Sungguh sebuah kesempatan yang menarik pikir saya waktu itu. Karena rapat tersebut cukup rahasia, saya tidak akan menceritakan secara detail terkait strategi apa yang mereka susun saat itu dengan sangat well organized di sini. Intinya yang mereka lawan dalam kampanye tersebut adalah sebuah perusahaan perikanan bernama Tally yang telah mencemari laut dengan limbah plastik. Mereka memanfaatkan momen Hallowen untuk menjalankan taktik yang akan mereka gunakan seperti biasa, menebarkan baliho besar bertuliskan Ghost Kill diatas gedung perusahaan tersebut , ciri khas Greenpeace. Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Koordinator kampanye laut (Ocean Campaigner), Jessica Desmond, yang masih sangat muda tapi sudah bergelar Master Biologi dari Harvard dan beberapa orang dari tim fundraising dan tim komunikasi.

Setelah rapat selesai, saya dan Jessica sempat membahas tentang sebuah rencana kebijakan internasional yang akan mengijinkan pertambangan minyak di lautan lepas. Jessica sangat tidak menyetujui hal tersebut, baginya itu adalah sebuah bencana Internasional bagi laut dunia. Untuk itu ia akan terlibat dalam sebuah konferensi tingkat internasional untuk turut menolak kebijakan tersebut. Sialnya, karena banyak informasi yang mengalir waktu itu saya lupa mencatat nama lembaga yang akan menetapkan kebijakan itu dan nama konferensi yang akan diikuti Jessica. Kami berbincang cukup lama dan sempat berswafoto bersama dengan latar stasiun kereta Mt. Eden yang berada persis di belakang kantor Greenpeace. 

Bersama Jessica Desmond

Diakhir kunjungan tersebut, Steve kemudian mengajak kami ke ruangan pertemuan bersama tim kampanye laut tadi dan membahas tentang kampanye untuk advokasi. Perbincangan kami berujung pada kuliah singkat yang Steve berikan sebagai seorang senior campaigner. Dalam kuliah singkat tersebut, Steve mengajarkan formula mereka dalam menyusun sebuah taktik kampanye yang sering lembaganya pakai.

  1. Tujuan (what do we want to happen)
  2. Target (who has the formal power to give us what we want)
  3. Pemetaan Aktor (what motivates them? who are they? What are the barriers to them doing that? Who influence them?)
  4. Pesan Kampanye (what message will make our target do what we want). Susunan kalimat dalam pesan kampanye : Nilai-situasi-tuntutan-aksi

    • Value (nilai): statement that people can agree with (could be relevant with the culture)
    • Situation (situasi): what is really happening that threaten the value
    • Demand (tuntutan): what do we want to happen
    • Action (aksi): tactic that we want people to do

      5. Taktik (how do we deliver our communication/demand ; posters, protest or petition)

Kira-kira begitu, ada lima hal penting dalam menyusun sebuah taktik kampanye menurut Steve yang sempat saya catat. Beruntungnya kelima hal tersebut merupakan dasar yang membuat saya mampu mengikuti workshop bersama Anita Tang dan Kirstin dalam sesi Campaigning di minggu berikutnya.

Rima-Steve-Alfian

Phia, Waiata dan Parakore Ki Tamaki

Hampir jam makan siang (kira-kira jam 11.30 NZ Time), saya harus segera pamit dari kantor Greenpeace, melewatkan traktiran makan siang bersama staff Greenpeace dan bergegas menaiki kereta menuju Mt. Albert. Di sana Phia dan Waiata sudah menunggu untuk bertemu rangatahi (remaja-remaja) Para Kore Ki Tamaki di Western Spring College pada pukul 12.00 NZ Time. Saat tiba di stasiun Mt. Albert, hujan turun dengan deras. Padahal saya sudah mengecek perkiraan cuaca sejak pagi dan harusnya hari itu akan cerah. Akan tetapi begitulah Auckland, cuacanya susah ditebak (unpredictable). Hal terbaik yang dilakukan Phia dan Waita sebelum menuju ke Western Spring College adalah mentraktir saya segelas espresso panas berukuran medium di sebuah kafe. Persetan dengan asam lambung. Saya kedinginan.

Phia (kiri) dan Waiata (kanan)

Western Spring College adalah sekolah yang saya dan mentor saya Niki Harre kunjungi sehari sebelum pertemuan dengan Para Kore Ki Tamaki ini. Saya menebak-nebak kemungkinan akan bertemu lagi dengan siswa-siswa yang sama seperti sehari sebelumnya, ketika Phia dan Waiata memimpin jalan ke dapur sekolah. Tebakan nyatanya saya tepat. Akan tetapi kali ini mayoritas nya remaja perempuan. Mereka anak-anak perempuan yang cukup aktif menurut saya. Di usia yang masih dibawah 17 belas tahun, mereka sudah terlibat dalam aksi-aksi protes seperti Climate Strike dan IHUMATAO (sebuah kasus tanah masyarakat adat kala itu), mendirikan komunitas dan terlibat aktif dalam kampanye gaya hidup zero waste. Anak-anak ini mengingatkan saya pada Salsabila Khairunisa di Indonesia yang sudah aktif berkampanye isu lingkungan sejak usia remaja.

Dalam percakapan santai sambil menikmati cemilan duritos dan roti, kami memperkenalkan diri masing-masing dan secara bergiliran menyampaikan kenapa terlibat dalam aktivisme untuk lingkungan hidup. Saya cukup kagum melihat antusiasme mereka dalam menyampaikan jawaban-jawaban mereka;

“Alam adalah rumah”

“Menjaga lingkungan berarti menjaga Papatuanuku (Ibu Bumi) dan Ranganui (Langit)”

“Alam adalah titipan generasi masa depan”

“Tidak ada masa depan bagi bumi yang rusak”

“Kita tidak punya banyak waktu lagi, perubahan iklim itu nyata”

dan lain sebagainya.

Alasan-alasan yang cukup sederhana namun tidak sesederhana keaktifan mereka dalam aktivisme lingkungan.

Saya kemudian merefleksikan beberapa hal yang mungkin mendorong mereka sehingga cukup aktif berpartisipasi dengan kesadaran yang tinggi. Pertama, jika dilihat dari tingkat literasi, akses terhadap informasi dan budaya membaca di negara tersebut sangat tinggi. Kedua, mereka telah dibiasakan oleh orang tua untuk hidup dengan alam dan  kesadaran terhadap keselamatan lingkungan hidup sudah dibangun dari rumah sebelum mereka masuk ke sekolah. Ketiga, budaya Maori yang cukup kuat. Maori merupakan masyarakat asli di New Zealand yang hubungan spiritualitasnya dengan alam cukup tinggi. Keempat, sekolah mendukung setiap aktivitas siswa tersebut. Sistem pendidikan di New Zealand bahkan menerapkan kurikulum yang mengintegrasikan isu environmental sustainability (keberlanjutan lingkungan) ke dalam setiap mata pelajaran. Dengan demikian, setiap mata pelajaran yang diterima dan dipelajari di dalam maupun luar kelas selalu menanamkan informasi dan kesadaran untuk menjaga lingkungan hidup demi mencapai keberlanjutan.

Para Kore Ki Tamaki

Jika dikaitkan dengan Theory of Engagement (Teori Keterlibatan) milik Niki Harre (Profesor Psikologi di University of Auckland), keempat hal tersebut telah berhasil menanamkan suatu nilai yang sama di dalam anak-anak tersebut (common value). Kunci utama dari keterlibatan seseorang terhadap suatu isu sosial adalah karena mereka memiliki nilai yang kuat terhadap isu tersebut. Nilai yang kuat ini jika dimiliki oleh banyak orang, bayangkan keterlibatan massa dalam suatu aksi jika seorang campaigner menyasar dengan tepat nilai tersebut dalam pesan kampanyenya.


Mendaki Mt. Eden Summit, di samping belajar

Satu setengah jam kemudian, Phia dan Waita mengantar saya di stasiun Mt. Albert dan dari sana saya akan naik kereta untuk kembali ke City Center. Sungguh satu hari yang cukup panjang bagi saya. Banyaknya informasi yang saya terima sepanjang hari cukup menyiksa otak saya. Saya belum sempat makan siang. Waktu sudah pukul 13.45 siang. Sayapun memutuskan turun kembali di stasiun Mt. Eden dan mencari makan siang. Kebetulan ada sebuah warung fish and chips yang tidak jauh dari kantor Green peace. Saya membeli makan siang di sana dan berencana untuk menyantapnya di puncak Mt. Eden Summit.

Mt. Eden Summit satu dari 200-san gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi di Auckland dan menjadi salah satu spot wisata yang terkenal. Untuk sampai ke sana dari titik saya membeli makan siang diperlukan waktu sekitr 20 menit. Sekalipun cuaca sudah mulai terik kembali, pohon-pohon besar yang rindang menyelamatkan saya dari sengatan radiasi ultraviolet yang katanya intensitasnya lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal ini dikarenakan New Zealand sangat dekat dengan lokasi penipisan lubang ozon. Tak heran semua orang akan menggunakan kacamata ketika keluar dari rumah. Jadi bukan untuk gaya-gayaan, mengingat dampak dari radiasi sinar UV dapat menyebabkan katarak, maka mereka disarankan untuk menggunakannya. Penjelasan ini saya peroleh dari Barry Griben, seorang dokter sekaligus suami dari Laila Harre (Manager Program INSPIRASI) ketika saya terkena iritasi mata di beberapa minggu pertama tinggal di Auckland.

Selain pohon-pohon yang melindungi saya, kicauan burung native juga turut menamani saya dalam pendakian ke puncak Mt. Eden. Dari sekian jenis burung asli di New Zealand, saya hanya mengenal satu kicauan, yakni kicauan dari burung Piwakawa-kawa (semacam burung gereja). Burung tersebut merupakan jenis burung favorit Ezra, anak pertama hostfamily tempat saya tinggal.  Bagaimana tidak, hampir setiap weekend Stephen, ayahnya, akan membawa kami berjalan kaki atau bersepeda ke dalam bush (rimbunan pohon) untuk sekedar melihat burung tersebut.

Mendekati puncak, saya melihat banyak mobil tour pariwisata berparkiran. Sepertinya keadaan di puncak cukup ramai. Saya mulai bertemu dengan wisatawan-wisatawan asing yang didominasi oleh orang-orang Asia. Sepertinya orang Asia sangat menyukai kota ini. Selain wisatawan, 40 persen dari penduduk di Kota Auckland adalah orang Asia. Keberadaan orang Asia juga mempengaruhi wisata kuliner yang ada di Auckland. Kuliner-kuliner Asia cukup mendominasi di sana. Ini juga yang membuat saya tidak terlalu home sick dengan makanan dari Indonesia. Sekalipun rasanya jauh berbeda, saya masih bisa menikmati Nasi Goreng pedas Malaysia, hingga Bakso dan Mie Ayam.

Sesampainya di Puncak, fish and chips saya sudah cukup dingin. Dengan cepat-cepat saya menghabiskannya lalu menikmati pemandangan kota Auckland hanya untuk tidak percaya bahwa saya benar-benar berada di sana. Pasalnya Auckland telah menjadi salah satu kota impian yang ingin saya datangi sejak 2018 selain London di Inggris dan Edinburgh di Scotlandia. 

Setelah tinggal selama hampir 4 bulan, bagi saya Auckland adalah kota dimana saya bebas menikmati petualangan seorang diri ke setiap sudut-sudutnya. Kota yang membuat saya untuk tidak sedikitpun takut kalau-kalau tersesat, bahkan sejak hari ketiga memijakan kaki diatasnya. Kota yang hanya memberikan saya culture shock pada persendian lutut karena terlalu banyak berjalan kaki. Kota di mana kebebasan melangkah dan berpikir hanya milik saya seorang. Semoga nanti bisa ke sana lagi.

Atau mungkin liat London dan Edinburgh dulu ya. Tapi terserahlah ke mana angin membawa saya (ceilah). Untuk itu saya selalu termotivasi dengan kalimat yang di sampaikan Nadhira, seorang dokter perempuan muda Indonesia, lulusan Harvard

Dream high! Because Our only limit is our mind”,

Bermimpilah dengan tinggi, karena satu-satunya yang membatasi kita adalah pikiran kita sendiri.

Tidak apa dibilang tidak realistis, tapi saya selalu percaya dengan kekuatan mimpi dan bahwa setiap orang berhak untuk punya mimpi.


Bersantai Mt. Eden Summit

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di

Feminisasi Alam

Asal-Usul Ekofeminisme, Aurora Ponda Beberapa hari yang lalu, saat menemani seorang teman dalam memfasilitasi sebuah pelatihan gender, menjelang penutup seorang peserta dalam kesimpulannya nyeletuk "blablabla Indonesia tidak disebut bapak perwira, tapi ibu pertiwi blablabla"  Karena sedang membaca buku ini, saya juga ikut nyeletuk "Feminisasi alam".  Apa itu feminisasi alam?  Feminisasi alam secara sederhana diartikan sebagai alam yang diperempuankan. Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan istilah-istilah lainnya yang menganalogikan alam seperti perempuan tergolong dalam feminisasi alam. Menurut beberapa feminis, feminisasi alam merupakan hal umum yang terjadi dalam budaya patriarki.  Pada masa perburuan, laki-laki akan keluar berburu sementara perempuan harus menetap di satu tempat karena fungsi biologisnya untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Sebagai insting untuk bertahan hidup saat laki-laki pergi berburu, Perempuan memanfaatkan tumbuhan di sekelilingnya untuk dimakan. Aga

30 Hari Bercerita Day 09 : Matilda

Di hari Sabtu kemarin saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel anak-anak karya Road Dahl, Matilda. Mungkin banyak yang sudah sering mendengar atau pernah menonton film dan membaca novelnya. Saya sendiri baru membaca beberapa lembar fiksi anak-anak ini. Karna itu apa yang akan saya ceritakan di sini mungkin agak sedikit berbeda dengan novelnya. Di netflix, ada dua versi film Matilda yakni versi biasa yang diproduksi pada tahun 1996 dan versi musikal yang diproduksi tahun 2022. Saya menonton versi musikalnya. Persis seperti novelnya, Film tersebut menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Matilda yang sejak balita sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Di usia tersebut ia sudah bisa membaca dan melahap banyak buku bacaan. Ia bahkan sering pergi sendiri ke perpustakaan dan menghabiskan waktunya di sana dengan membaca banyak buku. Sayang, di saat orang tua lain membanggakan anak mereka yang cerdas, orang tuanya malah menyebut Matilda sebagai anak yang aneh dan mem