![]() |
Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang
(Dokumentasi Pribadi)
|
Pada tahun 1990 – 1996 ia “mengasingkan diri” di wilayah bagian timur
Indonesia (Timor, Papua dan Maluku) sambil memusatkan kegiatannya pada
kegiatan pengorganisasian masyarakat lokal melalui program-program
pendidikan kerakyatan (popular education). Saya secara pribadi pernah
bertemu dengan beliau di tahun 2017 ketika mengikuti sebuah kegiatan
Pendidikan Pengorganisasian dan Penelitian Desa (P3D) yang
diselenggarakan oleh Sekolah Rakyat Payo-Payo Inninawa di Desa Soga,
Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan.
Saat itu Pak Roem (begitu saya memangilnya) merupakan salah satu mentor
favorit saya dan melalui kegiatan tersebutlah saya diperkenalkan dengan Sekolah Itu Candu. Buku ini dimulai dengan ulasan terkait sejarah sekolah dari zaman Yunani Kuno. Pada zaman itu sekolah disebut sebagai schola, skhole, scola, scolae (bahasa Latin) yang artinya waktu luang atau waktu senggang yang digunakan untuk belajar.
Penyebutan sekolah dengan istilah-istilah tersebut merepresentasikan
bagaimana orang-orang pada zaman Yunani Kuno melakukan kegiatan
pembelajaran. Mereka menggunakan waktu luang untuk mempelajari hal-hal
yang dirasa perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Akan tetapi lama
kelamaan, seiring dengan perkembangan aktivitas manusia, fungsi sekolah
mengalami beberapa tahap transformasi seperti scola materna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), scola in loco parentis
(lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai
pengganti ayah ibu) lalu berkembang dengan klasifikasi berdasarkan
tingkatan dan materi (Klasikal Pestalozzi oleh Heinrich Pestalozzi)
hingga akhirnya membentuk sistem kurikulum. Sekolah yang awalnya tidak
ada hal-hal yang baku, sekarang semuanya dibuat baku. Sekolah yang
awalnya cuma berarti pengisian waktu luang kini bermakna dan mewujudkan
diri sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan yang (kadangkala dan
celaka sekaligus) diartikan sebagai wujud hakikat pendidikan itu
sendiri.
Perubahan makna sekolah menjadi sebuah sistem kelembagaan dengan hal-hal
baku inilah yang kemudian melahirkan ketimpangan-ketimpangan dalam
sistem pendidikan di Indonesia dan menjadi kritik Roem dalam buku ini.
Sekalipun buku ini ditulis lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu,
namun kritik-kritik tersebut nyatanya masih relevan dengan situasi
sistem pendidikan kita saat ini.
Persepsi Masyarakat, Salah Kaprah Terhadap Arti Sekolah yang Sebenarnya
Sekolah telah menjadi suatu pengertian stereotip, stigma kental dalam
alam pikiran masyarakat. Masyarakat telah terstigma dalam pandangan
bahwa bersekolah atau menyekolahkan anak mereka agar pintar, mendapatkan
pekerjaan di kantor (misalkan menjadi PNS), mendapatkan jodoh yang juga
pintar dan lain sebagainya.
Dengan demikian pendidikan haruslah dilakukan dalam suatu lembaga yang
jelas, memiliki mutu, gedung, ruang kelas, deretan mata pelajaran yang
wajib, memberikan ijazah dan gelar akademis sebagai indikator yang
mengindikasikan terdidiknya seseorang. Alhasil, sekolah-sekolah yang
mencoba menyimpang dari kebiasaan umum tidak popular dan diminati banyak
orang.
Roem menyinggung beberapa sekolah yang menyimpang dari kebiasaan umum,
yang pada kenyataannya tidak diketahui orang tetapi melahirkan
orang-orang hebat peraih Nobel seperti David Baltimore, Geral Edelmann
dan Theodosius Dobzhansky dari Universitas Rockefeller di New York.
Universitas ini tidak memiliki kurikulum sebagaimana yang dimiliki oleh
sekolah-sekolah pada umumnya. Perlu diketahui Universitas Rockefeller
tenggelam di bawah bayang-banyak universitas “the big ten” Amerika
serikat. Lantas, apakah terpelajar dan berijazah adalah dua hal yang
sama sekali berbeda?
Sekolah Nyaris Menyeragamkan Segala Hal
Pada bagian ini Roem menulis bahwa Sekolah, ternyata memang bukan
sesuatu yang netral atau bebas-nilai. Sekolah di Indonesia, sebagai
lembaga pendidikan yang terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi
'pewarisan dan pelestarian nilai-nilai'. Nilai-nilai tersebut wajib
diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam.
Akibatnya pakaian diseragamkan, kewajiban bahkan pikiran siswa juga
diseragamkan.
Saya pernah mengikuti diskusi, ada pernyataan bahwa siswa memakai
pakaian yang seragam untuk menutupi ketidaksetaraan sosial di sekolah.
Jika tanpa seragam akan ketahuan mana siswa yang miskin dan kaya. Maka
jika tidak berseragam saat ke sekolah siswa akan dihukum dengan diusir
keluar dari lingkungan sekolah dan tidak diperbolehkan mengikuti
pelajaran.
Hal senada dikemukakan Nanang Martono dalam bukunya Sekolah (bukan) Penjara.
Menurutnya slogan bahwa seragam menunjukan keseragaman dan kesamaan
status hanyalah mitos. Salah satu argumen Martono yang menarik adalah
keberadaan seragam malah membuat biaya pendidikan semakin membengkak.
Bahkan dalam kenyataannya seragam menjadi masalah ketika harga seragam
tidak bisa di jangkau oleh masyarakat yang tidak mampu.
Selain itu keseragaman kewajiban yang ingin saya tambahkan disini adalah
mengikuti Ujian Nasional. Roem melampirkan sebuah cuplikan berita Koran
yang berjudul “Tidak Lulus Ujian Nasional, Siswi SMP Gantung Diri”.
Menurut saya itu dampak tragis dari keseragaman kewajiban seluruh siswa
di Indonesia mengikuti ujian Nasional. Sekali lagi sebuah diskriminasi
berkedok keseragaman kewajiban diluncurkan oleh sistem pendidikan
Indonesia. Bagaimana mungkin mengukur kemampuan siswa di seluruh
Indonesia yang notabene berbeda (sarana prasarana maupun akses), tapi
dilakukan dengan menjawab soal yang tingkat kesukarannya sama?
Berdasarkan realitas tersebut, hemat saya satu persatu identitas
(budaya) kita bisa luntur bahkan punah. Saya sangat sepakat dengan
pernyataan seorang fasilitator dari Sanggar Anak Alam di Jogyakarta
bahwa sistem pendidikan yang didesain oleh pemerintah kita saat ini
menodai semboyan Bhineka Tunggal Ika yang kita agung-agungkan sebagai
moto Negara. Penyeragaman dengan kedok pemerataan pendidikan nyatanya
hanya memarjinalkan dan melunturkan identitas anak-anak bangsa.
Sekolah Dijadikan Ladang Komoditi Berkedok Tujuan Nasional: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Melalui sajian percakapan antara seorang kepala sekolah dan staf guru,
Roem mengkritik pendidikan (sekolah) yang tidak lagi mengupayakan
berkembangnya pengetahuan seseorang. Sekolah telah berubah menjadi salah
satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Sekolah sudah
seperti sebuah perusahaan bisnis dimana Kepala sekolah bertindak sebagai
direktur perusahaan, guru dan pegawai administrasi sebagai pelayan jasa
sedangkan siswa sebagai konsumen.
Roem juga mengangkat pandangan Ivan Illich mengenai sekolah dalam
percakapan tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut, dalam bukunya De-schooling Society: Bebas dari Sekolah,
Illich berpendapat bahwa sekolah tidak otomatis sama apalagi sebangun
dengan pendidikan. Sekolah malahan membuat anak didik menjadi frustasi,
mensponsori kemajuan pembangunan yang mengagung-agungkan produksi,
konsumsi dan laba sebagai satu-satunya pendongkrak mutu hidup manusia.
Menurutnya universitas pun hanya sekedar mencetak dan memasok
tukang-tukang yang melayani masyarakat kapitalis-konsumeristik, memberi
ijazah sebagai legitimasi dan memarjinalkan orang-orang yang tidak cocok
dengannya.
Contoh dari pendapat ini menyata dalam sekolah yang dijadikan sebagai
tempat untuk mencetak tenaga handal dalam pasar tenaga kerja melalui
slogan-slogan menjanjikan. Daftar cepat, biaya hemat, Prestasi Dahsyat.
Daftarkan segerah dan raihlah Kesempatan berkarir yang luar biasa!
Celakanya bagi masyarakat yang telah terstigma dengan arti sekolah yang
keliru, slogan-slogan tersebut seperti angin segar bagi mata dan telinga
mereka.
Sekolah (Sistem Pendidikan) Tidak Membebaskan
Sekolah atau sistem pendidikan saat ini tidak lagi memberikan kebebasan
kepada anak-anak untuk menikmati waktu luang mereka. Sekolah malah
mengekang kebebasan itu dengan kesombongan kurikulum dalam kelas untuk
belajar dan belajar. Akibatnya pelajar atau mahasiswa diisolasi dari
masalah-masalah aktual yang terjadi di masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Saat mereka belajar, ketidakadilan terus saja terjadi.
Misalkan saat sebagaian anak Indonesia yang lain pergi ke sekolah untuk
belajar, sebagian malah tidak bersekolah, bahkan mengorbankan waktu
bermain dan belajar demi mencari nafkah. Akhirnya tak heran jika
anak-anak yang berhasil memperoleh ijazah menindas anak-anak yang tidak
pernah bersekolah.
Hasil survey lembaga riset dan analisis YouGov-Cambridge Globalism Project
yang melibatkan 25.000 orang dari berbagai negara di Eropa, Afrika,
Asia, dan Amerika di tahun 2019 menyatakan Indonesia menduduki peringkat
pertama sebagai negara dengan jumlah orang yang tak percaya perubahan
iklim terbanyak. Posisi kedua diduduki Arab Saudi, diikuti Amerika
Serikat. Fakta ini selain menunjukan bahwa isu lingkungan sangat minim
diajarkan di sekolah, juga menjadi bukti bahwa perubahan-perubahan
seperti penurunan intensitas hujan, kekeringan yang panjang, badai el
nino, krisis pangan yang terjadi di masyarakat akibat perubahan iklim
benar-benar berada di luar tembok sekolah.
Melalui essay Anak-Anak Laut dan Robohnya Sekolah Rakyat, Roem
menggambarkan betapa bahagianya anak-anak ketika pembelajaran
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan masyarakat. Akan tetapi hal
ini kemudian berubah dengan munculnya sebuah sistem pendidikan (sekolah)
yang sangat Jawa sentris. Situasi dan pola pikir orang kota seolah
dipaksakan ke pelajar di daerah-daerah pelosok.
Tahun 2019 lalu, beredar tulisan seorang guru muda lulusan salah satu Universitas di Kota Kupang pada sebuah fanpage di facebook.
Guru muda ini menceritakan pengalamannya dalam mengajar anak-anak SDI
Kaibusene, sebuah sekolah di pedalaman Distrik Haju, Kabupaten Mappi,
Papua. Dalam tulisan itu, disebutkannya bahwa setelah ia mengajar kurang
lebih satu tahun, anak didiknya mulai memiliki mimpi untuk naik
pesawat, naik mobil mewah, tidur di atas spon dan menjadi orang hebat
seperti orang-orang di Jakarta. Mereka menjadi giat membaca, menulis dan
tidak mau lagi ke hutan. Bahkan kepada orang tua, guru muda tersebut
dan guru-guru lainnya bersikeras dengan berkata “cukup mace dan pace
saja ke hutan. Anak dorang dengan kita belajar supaya besok-besok mereka
bisa beli beras kasih pace dorang makan ka”.
Nada tulisan tersebut sangat motivasional, akan tetapi isinya
benar-benar mewakili pemikiran yang tergerus dengan idealisme sekolah.
Sangat disayangkan sekali standar hidup sejahtera yang dijual jika
bersekolah adalah hidup mewah seperti orang-orang kaya kota dan makan
nasi. Ini jelas-jelas menjauhkan anak-anak Papua dari konteks hidup
mereka yang hidup dari hutan untuk mengambil sagu, berburu atau
berkebun. Saat anak-anak ini belajar di kelas agar kelak bisa membeli
beras, hutan mereka telah habis ditebang untuk aktivitas pertambangan
atau diubah menjadi kebun kelapa sawit.
Dengan adanya sistem tersebut, siswa juga ditanamkan hal-hal asing atau
hal-hal baru yang tidak sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Contoh lain yang cukup mirip dengan kisah guru muda di atas juga
ditemukan dalam sebuah artikel berjudul “Menanam Lontar di Langit”,
Jhonatan Alfrendi mengemukakan bahwa anak Sabu Raijua dalam
kesehariannya bermain di laut, bertemankan gelombang ketika tiba di
ruang kelas merasa asing dengan materi “langit”. Artinya, anak-anak
disuruh menghafal materi-materi tentang Eropa, raja-raja dan sejarah
kerajaan di Jawa pada masa prakemerdekaan, ataupun tentang bilangan
kubik yang sangat rumit.
Kebiasaan memancing ikan atau menanam lontar malah tidak diajarkan oleh
kurikulum. Budaya mereka justru tak didukung kurikulum, dengan demikian
kurikulum seolah menuntut anak-anak untuk menanam lontar di langit.
Sangat mustahil!
Pengalaman Alfrendi senada dengan pengalaman Paulo Freire, seorang tokoh Pendidikan untuk Pembebasan. Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas;
ia menceritakan bagaimana anak-anak dan orang dewasa buta huruf di
Brazil diajarkan untuk menghafal hal-hal asing yang tidak ada kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari.
Menurutnya sistem pendidikan dengan gaya seperti ini adalah sistem
pendidikan gaya bank. Artinya, dalam proses belajar mengajar guru
tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan
sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian
akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Karena hanya
disimpan, hal ini mematikan daya kritis dan daya cipta nara didik. Ini
juga disebut oleh Freire sebagai upaya membisukan masyarakat. Akibatnya
sistem pendidikan gaya bank akan menguntungkan kaum penindas dalam
melestarikan penindasan. Roem juga menjadikan situasi tersebut untuk
memperkuat kritikannya terhadap sistem pendidikan (sekolah) di Indonesia
yang sama sekali tidak membebaskan.
Pendidikan Alternatif
Menyikapi keempat poin di atas, Indonesia perlu belajar dari
negara-negara lain. Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan mendapat
beasiswa untuk belajar selama 6 bulan di New Zealand tentang pembangunan
berkelanjutan. Di sana, saya mengunjungi sebuah sekolah di daerah
pesisir paling timur (East Coast) dari New Zealand. Sekolah dimaksud
adalah sebuah sekolah adat karena tidak mengadopsi kerangka kurikulum
nasional yang diberikan oleh pemerintah New Zealand. Sekolah ini
menggunakan kurikulum Maori dimana dalam proses pembelajaran, siswa
diajarkan tentang budaya Maori (bahasa, leluhur, tradisi hingga
pengelolaan sumber daya alam secara tradisional) yang saat ini terancam
hilang di generasi mereka.
Jika pada kurikulum mainstream, mata pelajaran seperti
Matematika, Bahasa Inggris dan Ilmu Pengetahuan Alam dijadikan sebagai
mata pelajaran utama. Di sekolah ini mata pelajaran tersebut hanya
dijadikan sebagai mata pelajaran penunjang. Saya terpukau dengan cara
belajar siswa-siswa di sana yang tidak melulu di dalam kelas.
Pada sebuah kesempatan seusai kunjungan itu, saya bersama teman-teman
berkunjung ke sebuah pantai di dekat sekolah tersebut sambil menunggu
makan siang. Pantai itu ramai dikunjungi anak-anak. Awalnya saya
berpikir kalau mereka adalah pengunjung yang ingin berekreasi. Akan
tetapi setelah berbincang bersama seorang wanita yang tidak lain adalah
guru dari sekolah yang baru saya kunjungi, saya pun kemudian tahu kalau
mereka adalah murid-murid dari sekolah tersebut. Satu hal yang berkesan
dalam percakapan itu, guru tersebut menyatakan bahwa sebagai anak-anak
pesisir mereka harus tau bagaimana caranya untuk berenang, mencari ikan
dan bersahabat dengan gelombang. Sekolah sudah seharusnya mengajarkan
mereka tentang hal-hal ini. Di samping itu, Ia juga menyatakan bahwa
dirinya begitu menikmati pekerjaannya. Sebab ia mengajar sambil refreshing bersama murid-muridnya.
Jika belajar dari Negara lain dianggap terlalu jauh, di Indonesia
sendiri sebenarnya sudah ada berbagai sekolah alternatif yang bisa
dijadikan rujukan untuk sistem pendidikan kita. Misalnya di pedalaman
Kalimantan ada Sokola Rimba yang dirintis oleh Butet Manurung dan saat
ini juga sedang dirintis di Sumba. Selain Sokola Rimba ada juga Sanggar
Anak Alam (SALAM) di Jogjakarta. Saya yakin bahwa pemerintah dalam
merencanaan sistem pendidikan sudah seharusnya belajar dari
gerakan-gerakan pendidikan alternatif yang sudah banyak ditemukan di
Indonesia saat ini. Pendidikan harusnya dijalankan dengan menyesuaikan
keadaan masing-masing daerah di seluruh Indonesia, bukan dengan
mendigitalisasi segala sesuatu yang bagi orang-orang di sebagian daerah
masih asing untuk disentuh.
*NB:
Tulisan ini sebenarnya merupakan bahan yang saya persiapkan untuk kegiatan bedah buku bersama komunitas Galeri Kupang di tahun 2018. Waktu itu saya mendapatkan kesempatan pertama untuk menjadi narasumber dan buku yang saya pilih untuk dibedah (berdasarkan rekomendasi salah satu teman saya) adalah Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang pada tahun 1980.
Telah mengalami perbaikan setelah saya pulang belajar dari Auckland, New Zealand dan dipublikasikan melalui Media Online lokal, Leko NTT pada tanggal 05 Februari 2020.
Terima kasih sudah membaca
:)
Tulisan ini sebenarnya merupakan bahan yang saya persiapkan untuk kegiatan bedah buku bersama komunitas Galeri Kupang di tahun 2018. Waktu itu saya mendapatkan kesempatan pertama untuk menjadi narasumber dan buku yang saya pilih untuk dibedah (berdasarkan rekomendasi salah satu teman saya) adalah Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang pada tahun 1980.
Telah mengalami perbaikan setelah saya pulang belajar dari Auckland, New Zealand dan dipublikasikan melalui Media Online lokal, Leko NTT pada tanggal 05 Februari 2020.
Terima kasih sudah membaca
:)
Komentar
Posting Komentar