Membaca buku ini membuat saya teringat pembicaraan dengan Stephan Kavermann, Host Family saya di Auckland dalam perjalanan mengantar saya ke Terminal Kereta Trans Pulau Utara Selandia Baru. Entah bagaimana, kami tiba-tiba membahas sistem-sistem pemerintahan beberapa negara di dunia dan permasalahan-permasalahan sosial yang timbul akibatnya.
Pembahasan itu berakhir pada pertanyaan yang dijawab sendiri olehnya. "Rima, menurutmu diantara sistem-sistem pemerintahan negara itu ada yang paling baik dan benar? Bagiku tidak ada. Bahkan Demokrasi sekalipun. Tapi setidaknya Demokrasi bisa menjadi pilihan di antara yang teburuk".
Ada benarnya juga, setidaknya demokrasi masih memberikan hak bagi masyarakat untuk menyampaikan suaranya. Walau dalam kenyataannya banyak kebiri yang terjadi karena watak antikiritik pemerintahannya (people in authority)
Membaca buku ini juga membuat andagium "jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan padamu tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan untuk negara", atau "lu protes terus, memangnya lu su bikin apa?" Berlari-lari di kepala saya. Rasanya malas menjelaskan panjang lebar tentang teori oposisi sebagai etika demokrasi atau pentingya kontrol oposisi terhadap kekuasaan yang sialnya tidak ada di Parlemen Senayan saat ini tapi di Parlemen jalan raya. Parlemen jalan raya tidak akan terbentuk seandainya Parlemen senayan becus. Tapi yasudah, ini Endonesah, "negara demokrasi seolah-olah". Berkontribusi melalui protes (mengambil bagian oposisi) akan selalu salah.
Komentar
Posting Komentar