Langsung ke konten utama

Sebuah Refleksi Kimiawi; Tanah Dan Nenek Moyang

Bagi saya, memberi reward kepada diri sendiri setelah mengerjakan sesuatu yang menyita banyak tenaga dan pikiran adalah sesuatu yang wajib dilakukan. Membelikan diri makanan kesukaan, menonton film, jalan-jalan, tidur-tiduran, malas-malasan atau membaca adalah hal-hal yang sering saya lakukan untuk berterima kasih kepada diri saya setelah berusaha menyelesaikan sesuatu. Kali ini, saya memberi diri saya kesempatan untuk melawat buku-buku yang belum sempat saya selesaikan.

Saat ini saya tengah membaca sebuah buku yang beberapa minggu lalu dikirimkan seorang teman baik dari Bogor. Judul buku itu adalah “Jalan Pulang”, sebuah catatan perjalanan di Spanyol yang ditulis oleh Maria Hartiningsih seorang jurnalis Harian Pagi Kompas (1984-2014). Saya belum menamatkan tulisan yang terdiri dari 479 halaman itu, tetapi ada satu bagian yang menggugah pikiran. Bagian itu berisi narasi tentang kematian, tetapi entah bagaimana pikiran saya membawa saya kepada hal lain, yaitu bagaimana tanah bisa menjadi sangat penting bagi kelompok masyarakat yang memiliki penghormatan tertinggi bagi nenek moyangnya dengan perspektif kimiawi.

Bagian yang memantik otak saya untuk berulah ada di halaman 91. Setelah mendengarkan berita kematian salah satu orang penting dalam hidupnya Maria menuliskan demikian:

“……Semua mahkluk penghuni alam harus berada pada kondisi keseimbangan yang terjaga, constant equilibrium homeostatis. Kematian adalah keseimbangan, sebuah proses ekuilibrium termodinamika.

Ketika kematian menjemput, raga kita secara berangsur terurai kembali, dari individu, organ, jaringan, sel, molekul, atom ke zarah sub atom. Jadi kulit, otot tulang, semua hilang, diuraikan, tinggal fosfor, fosfat, natrium, kalsium yang menyuburkan alam sekitar dan jutaan atom yang melayang di udara dihirup lagi oleh segala yang hidup. Jutaan atom itu terus bertebaran di udara selama ribuan tahun”

Saya terpaku pada beberapa kata yang cukup akrab seperti; molekul atom dan tiga nama unsur fosfor, natrium dan kalsium. Saya tidak belajar ilmu pertanian, tetapi yang saya tau ketiga unsur kimia tersebut sering dikenal sebagai unsur-unsur yang berperan penting bagi tanah untuk menghidupkan kehidupan.

Fosfor (P) merupakan unsur (mineral) yang jumlahnya paling banyak dalam tubuh manusia. 85% fosfor dalam tubuh manusia tersimpan dalam tulang dan gigi. Unsur ini di tanah berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman, khususnya akar benih dan tanaman muda, mengaktifkan pertumbuhan tanaman, pertumbuhan bunga, dan mempercepat pematangan buah.

Natrium (Na) adalah mineral dan juga elektrolit yang dibutuhkan untuk fungsi tubuh normal. Sebesar 85% natrium dalam tubuh ditemukan dalam darah dan cairan getah bening. Di tanah, sebagaimana sifatnya sebagai logam alkali, Na berperan dalam kesimbangan tingkat keasaman tanah (pH). Selain itu Na juga turut berfungsi dalam proses fotosintesis dan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit pada tanaman.

Kalsium (Ca) adalah mineral utama penyusun tulang dan gigi manusia selain fosfor. Dalam tubuh manusia, 99% kalsium terdapat dalam tulang. Ditanah, kalsium memiliki fungsi yang sama dengan Na karena memiliki sifat alkali. Selain itu juga Kalsium dikategorikan sebagai unsur makro sekunder yang menyusun dinding sel tanaman, pengatur sintesis protein, merangsang titik tumbuh pucuk baru daun dan akar serta menghambat penuaan sel pada tanaman.

Merefleksikan fungsi ketiga unsur kimia tersebut dalam keterkaitannya dengan nenek moyang, tanah dan masyarakat adat, menurut saya kira-kira begini benang merahnya;

Menjaga Tanah, Menghormati Leluhur


Ketika pendahulu (nenek moyang) manusia mati, mereka akan berubah menjadi unsur-unsur tersebut lalu memberikan kesuburan bagi tanah tempat generasi selanjutnya menanam untuk makan. Ketika tanah yang sama, digunakan kelompok masyarakat tersebut untuk hidup lalu mati diatasnya akan mengalami siklus yang sama. Secara ilmiah hal ini menjelaskan kepercayaan masyarakat adat bahwa nenek moyang memberikan kesuburan bagi tanah. Tidak heran bahwa bagi sebagian besar masyarakat adat di dunia mensakralkan tanah sebagai media berelasi dengan leluhur mereka. Dengan demikian dapat dikatakan paradoks; yang hidup merawat yang mati, yang mati merawat yang hidup, dianut oleh masyarakat-masyarakat adat.

Menjaga Pohon, Menghormati Leluhur


Secara ilmiah juga ini menjadi masuk akal terhadap kepercayaan masyarakat adat bahwa menjaga pohon bahwa pohon merupakan jelmaan nenek moyang mereka atau memiliki roh nenek moyang mereka. Ketiga unsur tadi yang bisa jadi berasal dari nenek moyang mereka, diserap dari tanah dan menghidupkan pohon yang tumbuh diatasnya. Di Flores Timur, misalnya, masyarakat Tan Ai percaya bahwa hutan yang dilindungi merupakan tempat istirahat para roh nenek moyang. Suku Maori di Selandia Baru juga percaya bahwa di dalam pohon dan tanaman-tanaman asli di Selandia Baru ada roh nenek moyang mereka. Untuk itu sebelum mengambil atau menggunakan tanaman-tanaman tersebut, mereka akan berdoa meminta ijin kepada nenek moyang mereka dengan tutur. Roh nenek moyang mereka secara ilmiah adalah ketiga unsur tadi.

Penggunaannya pun hanya secukupnya, sebab penggunaan berlebihan akan menghilangkan eksistensi dari leluhur (memutus hubungan) yang kemudian kita sebut kepunahan. Terkait bagaimana orang yang bisa berbicara langsung dengan roh nenek moyang yang tinggal di dalam pohon, saya ingin mengutip lagi tulisan Maria Hartiningsih

“Raga yang terurai dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuan, tetapi roh atau jiwa tetap menjadi misteri sepanjang masa”

Pada akhirnya, segala sesuatu di bumi saling terhubung. Semua mahkluk hidup berada di satu jaringan kehidupan. Semua yang hidup memiliki unsur kimia yang sama dengan presentasi yang berbeda-beda. Unsur-unsur tersebut menghidupkan yang hidup dan bertansportasi terus menerus dari mahkluk hidup yang satu ke mahkluk hidup yang lain, membentuk budaya dan menyetimbangkan kehidupan. Saya teringat pembelajaran kimia tentang konsep reaksi kesetimbangan, bahwa reaksi kesetimbangan adalah proses dinamis yang terjadi terus menerus. Sekalipun reaksinya seolah terhenti (laju reaksi ke kiri sama dengan laju reaksi ke kanan), reaksi tetap berlangsung dengan perubahan mikroskopik yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia.

Hidup adalah reaksi menuju kesetimbangan (kematian), akan tetapi ketika kematian atau kesetimbangan itu tercapai, perubahan akan tetap terjadi secara mikroskopis. Perubahan mikroskopis itu kemudian kembali membentuk kehidupan.

22 Desember 2020

Tulisan ini dibuat beberapa minggu, sebelum nenek pergi. Waktu dimana nenek mulai minta pamit dengan lemahnya. 



Manusia selalu tersandra dualitas; kehidupan menyatukan, kematian memisahkan. Hidup adalah ikatan kebersamaan, kematian adalah penumbangan. Keduanya hanya dimungkinkan oleh keterpisahan dan terikat kembali melalui keterlepasan.

 Terima kasih sudah merawat selama 26 tahun, di tahun ke 27 saya harus kehilangan. Kami kehilangan. Tidur dalam damai, Nene Honi 💚

 Semesta akan membawamu menjadi partikel-partikel kecil penyubur tanah, yang kelak akan kembali menghidupi kami. Tak pelak, tanah air tempat kau memberi hidup nanti wajib kami jaga. Bukan semata-mata kami butuh tanah, tapi tanah adalah kesayangan-kesayangan kami yang telah lebih dahulu pergi. Karena sesungguhnya bukan yang hidup yang merawat yang mati, tetapi yang mati yang merawat yang hidup.






Komentar

  1. Suka ama tulisannya. Refleltif yg mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Semoga terus lahir penulis2 hebat dari Timur. Semangat terus dalam berkarya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Fer...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...