Langsung ke konten utama

Buku dan Perubahan Iklim (Sebuah Refleksi)

Beberapa hari lalu saya memperoleh dua buku baru dari seorang teman dekat di kantor sebagai early birthday gift lalu memostingnya di story whatsappStory tersebut mendapatkan sebuah respon tak terduga yang membuat saya termenung dan cukup mengganggu pikiran saya seharian penuh.  That is why global warming is always increasing”, kira-kira begitu isi pesan yang mengomentari postingan saya di story whatsapp. Benak saya seketika menjadi jalur lalu-lintas beberapa pertanyaan seperti; apakah membeli buku (atau mungkin membaca buku) memiliki kontribusi dalam memperparah kondisi perubahan iklim? Bukankah di satu sisi membeli buku turut membantu orang lain yang cari makan dari sana (para penulis, editor dan penerbit misalnya)? Bukankah membeli buku untuk dibaca juga memperluas wawasan?

Si Ideal Hypocrite dan Buku Barunya

Saya kemudian mencoba beberapa cara untuk menggalang perspektif. Pertama saya mulai dengan mencantumkan pertanyaan di akun instagram saya untuk konten bookstagram. Sayangnya, saya tidak mendapatkan satupun respon. Lalu besoknya saya mencoba untuk memberikan pertanyaan yang sama melalui whatsapp story, dengan skema give away beberapa buku dari koleksi pribadi saya. Cara ini membawa beberapa jawaban kepada saya; ada yang berpendapat "ya", ada yang "abu-abu" dan ada yang bilang "tidak".

Mereka yang berpendapat “ya” menitikberatkan argumen mereka bahwa kertas-kertas pada buku berasal dari kayu dan untuk mendapatkannya pohon harus ditebang. Mungkin ini dasar kenapa pernyataan “That is why global warming is always increasing” diberikan kepada saya. Salah seorang yang lain menjawab pertanyaan saya dengan memberikan beberapa list jenis kayu yang biasanya dipakai dalam pembuatan kertas. Entah mengutip dari mana, kira-kira begini jawabannya:

Ada beragam jenis pohon yang dapat digunakan untuk membuat kertas, misalnya:

  1. Pohon pinus dan cemara di Amerika Utara,
  2. Beragam jenis kayu putih (Eucalyptus Globulus dan Eucalyptus Grandis) di Amerika Latin, Spanyol, dan Australia,
  3. Pohon Akasia (Umumnya Acacia Mangium) di Asia Tenggara dan Afrika Selatan,
  4. Pohon Balsam Poplar dan Fir umum di Kanada, dan
  5. Pohon Aspen di Eropa

Dari jenis pohon di atas, apakah sudah termasuk keseluruhan yang tumbuh di hutan? Saya kira tidak. Di hutan, ada banyak banyak jenis pohon. Dan pohon yang cocok untuk buat kertas, yaitu seperti jawaban di atas: kayu berserat.

Dengan memberikan list jenis-jenis pohon tersebut ia menjawab pertanyaan saya dengan kata "tidak". Namun ia juga menjawab "ya" karena sudah pasti melibatkan penebangan atas pohon-pohon tersebut. Dasar manusia abu-abu.

Sementara yang murni menjawab "tidak", lebih menitikberatkan argumennya pada pola konsumsi yang berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan hingga permasalahan tata kelola sumber daya alam. Ia juga mengutip pernyataan Mahatma Gandhi bahwa “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah”. Menurutnya, semua barang berasal dari alam, apapun itu, termasuk buku. Buku dikatakannya masuk dalam kategori kebutuhan karena dengan buku manusia dapat memproduksi pengetahuannya. Pengetahuan itu bisa saja tentang bagaimana mengedalikan perubahan iklim. Pengelolaan sumber daya alam yang bijak adalah memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk keinginan manusia. Sehingga membeli buku tidak serta merta berkontribusi dalam perubahan iklim, sebab buku adalah kebutuhan manusia untuk memproduksi pengetahuan.

Guna menjustifikasi jawaban-jawaban tersebut, saya melanjutkan bacaan saya pada beberapa artikel. Ada satu artikel yang cukup menarik, yakni sebuah artikel dalam situs bernama custommade.com. Judulnya “E-readers Vs. Print Books” atau kalau dibahasa-Indonesiakan berarti “buku elektronik atau buku fisik?”. Artikel tersebut kurang lebih menjabarkan tentang jejak karbon yang ada dibalik dua jenis buku yang akhir-akhir ini menjadi pro dan kontra di kalangan pembaca buku. Tim e-book reader akan selalu berbangga bahwa dirinya berkontribusi dalam mengurangi laju penebangan pohon sementara tim pembaca buku fisik biasanya akan menyebut diri mereka sebagai para electricity-saver atau tim hemat energi karena tidak perlu menggunakan barang elektronik untuk membaca. Sebelum melanjutkan, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan e-book readers di sini adalah alat-alat elektronik yang biasa digunakan untuk membaca buku elektronik seperti kindle, tablet dan android.

Sekilas, tentu saja keduanya benar karena sama-sama punya kontribusi positif dalam mengurangi emisi penyebab pemanasan global dan sama-sama memberi makan kepada orang lain (khususnya para penulis). Akan tetapi fakta-fakta yang saya temukan dalam artikel itu juga tidak kalah penting untuk diperhatikan.

Pertama, dari segi bahan baku dan proses produksi, keduanya juga rakus sumber daya. New York Times pernah merilis bahwa pada pembuatan satu e-book reader sejumlah 33 pon mineral yang diekstraksi dari perut bumi termasuk coltan (campuran niobium dan tantalum) yang ditambang dari wilayah konflik di Afrika. Sekitar 65 pon atau 29 kg karbon dioksida (CO2) akan terlepas ke atmosfir. E-book reader juga dikatakan rakus dengan sumber daya air dan menghasilkan limbah elektronik yang cukup besar di Tempat Pemrosesan Akhir (landfill). Di Indonesia sendiri, proses pengelolaan limbah elektronik dan B3 masih menjadi momok. 

Di satu sisi, meskipun memerlukan jumlah air dan mineral yang lebih sedikit dibanding e-book reader, pembuatan buku fisik juga menumbangkan banyak pohon. Di Amerika, tercatat bahwa total buku dan koran yang saat ini beredar saja sudah merobohkan sekitar 100 juta pohon serta melepaskan sekitar 7,5 kg karbon dioksida pada proses produksi.

Kedua, pada skema distribusi (transportasi) kedua jenis buku tersebut juga sama-sama membutuhkan berton-ton bahan bakar fosil agar sampai ke tangan para pembaca. Ketiga, dari segi pemakaian e-book reader dikatakan tidak lebih baik dari pada buku fisik. E-book reader mengkonsumsi lebih banyak energi dibanding buku fisik. Jika rusak e-book reader tersebut sudah tidak bisa digunakan dan akan berakhir sebagai limbah elektronik. Sementara membaca buku fisik memang membutuhkan cahaya lampu akan tetapi untuk jangka waktu pemakaian, buku fisik masih bisa digunakan dalam jangka waktu yang lama. Buku fisik juga  bisa dipinjamkan atau dibagikan kepada orang lain.

Di akhir artikel itu, penulis menyodorkan beberapa solusi masuk akal kepada para pembaca entah itu pembaca di tim e-book reader maupun tim buku fisik agar lebih aware dengan kegiatan membacanya. Misalnya dengan membeli buku yang diperlukan saja, membaca buku bekas dan tidak terpengaruh iklan untuk meng-upgrade e-book reader yang ada. Satu solusi menarik lainnya yaitu menjadi anggota perpustakaan. Saya menangkap maksud tersebut bahwa keberadaan dari perpustakaan publik juga ternyata berperan penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk itu saya ingin menyampaikan rasa salut dan terima kasih kepada gerakan-gerakan literasi dan taman baca yang saat ini sudah menjamur sampai ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia, khususnya di Provinsi NTT.  Kepada para inisiator gerakan ini, kalian harus tau bahwa selain sebagai pejuang literasi, kalian juga adalah para climate fighters!

Usai membaca solusi yang ditawarkan, memang harus saya akui bahwa aktivitas membaca tergolong sebagai sebuah aktivitas yang cukup konsumtif dan ini menjadi refleksi yang cukup berarti bagi saya dalam menekan hasrat konsumtif saya. Walau demikian saya sendiri masih kekeuh tidak mau meminjamkan buku-buku saya, dengan alasan untuk anak cucu. Lagipula alasan tersebut masih bisa diterima kok! Kelak ketika anak cucu saya ingin membaca sejarah atau mengenal sastra di masa generasi saya, mereka  tidak perlu kesusahan membeli buku baru dan menambah panjang jejak karbon dibalik aktivitas membaca. Dari pada buku saya dipinjamkan kepada pembaca rakus yang tidak bertanggung jawab dengan buku yang saya beli dengan jerih payah (menabung dsb).

Jadi apakah membeli buku turut berkontribusi pada perubahan iklim? Tentu! Tetapi selama kita bijak dengan pilihan kita dan turut aktif dalam mengadvokasi (yang banyak caranya), dampaknya bisa kita kurangi. 

Kita boleh sekali idealis tapi harus realistis juga. Ingat kita ini sedang terjebak dalam dunia yang kapitalistik, maju maupun mundur akan selalu kena. Kecuali, revolusi besar-besaran itu benar-benar terjadi. Well, saya percaya itu akan terjadi. Sekalipun perjalanannya masih panjang. Oleh karena itu mewariskan buku-buku dari koleksi pribadi untuk anak cucu itu menjadi penting. Paham kan maksudnya??

Sekian,

Salam dari si ideal hypocrite!

NB:

Terima kasih untuk teman yang sudah memantik saya untuk berpikir dan teman-teman yang sudah membantu membangun perspektif.

Sumber-sumber:

https://www.custommade.com/blog/e-readers-vs-print-books/

https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/interactive/2010/04/04/opinion/04opchart.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Fer...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...