Langsung ke konten utama

Delusi Rasa : Bukan Sebuah Review Buku

Delusi Rasa - Yons Hunga

Suatu hari si penulis novel ini tiba-tiba menanyakan kepada saya perbedaan antara cinta dan obsesi. Saat itu saya menjawab dengan seadanya, karena pertanyaan itu sangat mengganggu apalagi datang di tengah kesibukan yang cukup padat. Lalu suatu ketika dia muncul lagi dengan permintaan mereview novel yang sudah ia tulis. Saya sempat urut kepala. Saya tidak tau bahwa dia sedang menulis sebuah novel 😂

Setelah menyempatkan diri membaca script novel yang ia kirimkan (dengan ogah-ogahan), tanpa sengaja saya memperoleh jawaban atas pertanyaannya. Kira-kira begini:

Jika cinta diartikan sebagai memikili, hasil akhirnya pasti obsesi. Dari apa yang kau tuliskan, saya jadi mengerti kenapa Widuri salah mengidentifikasi cintamu sebagai sebuah obsesi. Ia menyebutnya obsesi karena kau berkata bahwa kau telah melakukan banyak hal "baik" demi dan karena Widuri. Ada indikasi ingin memiliki yang kuat di sini, entah perhatiannya atau keberadaannya. Sebagai perempuan yang cerdas, jelas hal-hal itu terlihat sebagai obsesi di matanya. Saya pikir ini hanya salah sangka. Iya dia, widuri sedang salah sangka.

Dari tulisan di novelmu juga, saya menangkap ada defenisi cinta yang mengada di sana. Perasaan yang betul-betul ada. Ini terlihat dari ketulusan. Definisi cinta yang mengada akan memicu hadirnya ketulusan. Kau tulus mendoakannya, kau tulus berharap semua yang tebaik baginya dan tulus untuk selalu ada baginya. Bagian ini lebih kepada tidak mengharapkan balasan.

Saya pikir kau punya keduanya. Obsesi dan cinta. Ini wajar. Karena memiliki dan mengada adalah dua modus ekstensialisme manusia. Selama kau manusia, bukan bebek apalagi baby, kau punya keduanya. Saya sendiri juga demikian. Tidak salah jika memiliki keduanya. Tetapi lebih kepada kencenderungan. Ketika kau cenderung kepada salah satu, itulah cinta yang kau punya.

Sebenarnya jawaban tersebut terinspirasi dari buku "Memiliki dan Mengada" karya psikoanalis favorit saya, Erich Fromm yang kebetulan sedang saya baca kala itu. 

Eh kembali ke laptop. Singkatnya, novel ini berkisah tentang Jo; seorang laki-laki yang terus memupuk benih progesivitasnya menentang ketidakadilan yang ia temui mulai dari kampusnya sendiri hingga yang tengah terjadi di seantero negeri sambil diam-diam mengungkapkan cinta lewat puisi. Terkait obsesi dan cinta sebenarnya adalah dua hal yang menjadi tanda tanya besar bagi Jo diakhir cerita, setelah berhasil mengungkapkan cintanya kepada Widuri. Pujaan hati tempat semua puisinya bermuara. Membaca Novel tersebut (yang sebenarnya terinspirasi dari cerita nyata) membuat saya juga teringat pada kata-kata Lao Tsu.

"sangat dicintai oleh seseorang memberimu kekuatan, sementara mencintai seseorang secara mendalam memberimu keberanian",

Bisa dikatakan "mencintai dengan dalam" memberikan si penulis keberanian untuk membuka kisah yang ia simpan sendirian dalam sebuah kotak "Cinta Dalam Diam". 

Sudah, segitu saja. Saya tidak akan tulis review buku ini panjang lebar sesuai permintaan si penulis. Sekalipun, cerita ini sudah saya baca berkali-kali. Silahkan buat yang penasaran dengan isi bukunya, bisa tanya langsung ke penulisnya. Intinya selamat kepada Yonathan Lu Walukati (Yons Hunga) karena sudah berhasil menerbitkan novel milik sendiri. Terima kasih juga kepada cerita dibalik covernya. Semoga niat menulismu panjang umur! Saya tunggu novel berikutnya.

Bonus!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di

Feminisasi Alam

Asal-Usul Ekofeminisme, Aurora Ponda Beberapa hari yang lalu, saat menemani seorang teman dalam memfasilitasi sebuah pelatihan gender, menjelang penutup seorang peserta dalam kesimpulannya nyeletuk "blablabla Indonesia tidak disebut bapak perwira, tapi ibu pertiwi blablabla"  Karena sedang membaca buku ini, saya juga ikut nyeletuk "Feminisasi alam".  Apa itu feminisasi alam?  Feminisasi alam secara sederhana diartikan sebagai alam yang diperempuankan. Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan istilah-istilah lainnya yang menganalogikan alam seperti perempuan tergolong dalam feminisasi alam. Menurut beberapa feminis, feminisasi alam merupakan hal umum yang terjadi dalam budaya patriarki.  Pada masa perburuan, laki-laki akan keluar berburu sementara perempuan harus menetap di satu tempat karena fungsi biologisnya untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Sebagai insting untuk bertahan hidup saat laki-laki pergi berburu, Perempuan memanfaatkan tumbuhan di sekelilingnya untuk dimakan. Aga

30 Hari Bercerita Day 09 : Matilda

Di hari Sabtu kemarin saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel anak-anak karya Road Dahl, Matilda. Mungkin banyak yang sudah sering mendengar atau pernah menonton film dan membaca novelnya. Saya sendiri baru membaca beberapa lembar fiksi anak-anak ini. Karna itu apa yang akan saya ceritakan di sini mungkin agak sedikit berbeda dengan novelnya. Di netflix, ada dua versi film Matilda yakni versi biasa yang diproduksi pada tahun 1996 dan versi musikal yang diproduksi tahun 2022. Saya menonton versi musikalnya. Persis seperti novelnya, Film tersebut menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Matilda yang sejak balita sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Di usia tersebut ia sudah bisa membaca dan melahap banyak buku bacaan. Ia bahkan sering pergi sendiri ke perpustakaan dan menghabiskan waktunya di sana dengan membaca banyak buku. Sayang, di saat orang tua lain membanggakan anak mereka yang cerdas, orang tuanya malah menyebut Matilda sebagai anak yang aneh dan mem