Sehabis membaca buku ini, saya menyempatkan diri berdiam sejenak; Mendoakan agar suara perempuan hebat yang menuliskan sosok Firdaus dalam buku ini terus menggema dan membakar jiwa setiap perempuan yang membacanya, sekalipun raganya telah berada dipelukan bumi.
Saya sudah membeli buku ini dari tahun lalu dan selalu batal meyelesaikannya dengan alasan kesibukan. Selain itu, sosok Firdaus selaku tokoh utama dalam buku ini bagi saya sangat menyebalkan di awal-awal cerita karena kepolosannya dalam menjalani hidup.
Suatu hari, saya sedang iseng membaca kembali
note-note yang saya simpan. Mencari ide. Sebab keinginan untuk menulis sesuatu
sedang tinggi-tingginya dan note saya adalah tempat saya menemukan ide-ide yang
pernah saya tulis di setiap seperempat pagi. Pencarian saya kemudian sampai pada sebuah pesan
yang dikirimkan oleh kakak perempuan idola saya, kakak Linda Tagie. Pesan itu sudah
saya simpan cukup lama.
Usai membaca pesan tersebut, saya tiba-tiba
memperoleh semangat untuk membaca kembali buku ini dari awal sampai selesai
dengan sekali duduk.
Firdaus adalah sosok perempuan yang sedang menunggu waktunya untuk dihukum mati lantaran membunuh seorang germo. Saat di dalam penjara, ia bertemu dengan seorang dokter dan menceritakan kisah hidupnya dengan penuh keterbukaan. Mulai dari kepolosannya dalam menjalani hidup sehingga tidak sadar bahwa dirinya sedang terkungkung sebuah sistem yang merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan (sistem yang membuatnya bebas ditiduri laki-laki biadap disekelilingnya tanpa tau apakah laki-laki itu baik atau tidak, bersih atau tidak, mencintainya atau tidak) hingga menjadi seorang perempuan elegan, yang sadar dan merdeka.
Titik balik ia menjadi perempuan elegan dan
merdeka adalah ketika ia memilih untuk bekerja sebagai seorang pelacur.
Dengan menjadi pelacur ia berdaulat atas tubuhnya.
Walaupun demikian, ada sebuah
ironi dalam kisah Firdaus dalam novel ini yang terkuak. Yaitu saat Firdaus
memutuskan untuk membunuh seorang germo laki-laki yang ingin menguasainya
dengan segala cara. Ironi tersebut kira-kira begini; sekalipun perempuan merasa
berdaulat atas tubuhnya dan atas kehidupannya, ia tidak akan benar-benar
merdeka jika sistem patriarki itu masih ada. Sebab sistem ini sangat kuat dan
sudah sangat mengakar dalam jiwa masyarakat kita. Membunuh laki-laki germo
dalam cerita Firdaus tersebut sebenarnya adalah satu simbol bahwa patriarki itu
harus dihancurkan jika perempuan benar-benar ingin merdeka.
Peringatan : mohon kalimat saya yang terakhir betul-betul dipahami. Menghancurkan patriarki bukan berarti merendahkan laki-laki atau membunuh mereka. Patriarki adalah sebuah sistem bukan individu. Gerakan perempuan adalah gerakan untuk mendobrak patriarki demi mencapai dunia yang setara; dunia yang memandang dan memperlakukan semua orang sebagai manusia. Gerakan perempuan bukanlah gerakan untuk membentuk sebuah sistem baru dengan menempatkan perempuan di puncak dominasi, seperti tuduhan-tuduhan yang selama ini diberikan pada gerakan perempuan.
Pada akhirnya, menutup refleksi ini, saya ingin mengutip sebagian pesan kak Linda yang membakar semangat saya agar menyelesaikan buku tersebut;
Kutipan "karena aku perempuan cerdas, aku memilih menjadi pelacur bebas daripada istri yang tertindas" dan "seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat" ialah klimaks dari kemarahannya terhadap laki-laki yang memanfaat tubuhnya untuk pemuasan nafsu seksual yang maskulin dengan berkedok cinta, sekaligus pemberontakannya terhadap lingkungan yang tidak ramah terhadap perempuan kelas menengah ke bawah.
Firdaus memilih menjadi pelacur sebagai kedaulatannya atas tubuh dan seksualitasnya. Bukti bahwa ia adalah perempuan yang berdaulat atas hidupnya. Tapi, sampai pada akhir novel tersebut, Firdaus tidak pernah mengintervensi kehidupan perempuan lain yang berbeda dengannya. Firdaus pun tidak menyebut dirinya feminis. Ia bertindak, dan pembacalah yang menilai, bahwa Firdaus adalah feminis.
Perempuan memilih bekerja kantoran, jadi Ibu Rumah Tangga, pengusaha, freelancer, bidan, dokter, Pegawai Negeri Sipil, Aktivis, atau pelacur, semuanya itu sebagai bentuk kedaulatan perempuan atas tubuhnya, atas hidupnya. Bukan semata-semata untuk pukul dada bahwa dia lebih baik dari perempuan lain.
Dengan demikian saya memberikan nilai 5/5 pada buku ini.
Terima kasih sudah membaca!
Salam Sehat dan Setara!
Komentar
Posting Komentar