Semua orang pernah bucin, termasuk saya. Suatu hari di bulan November 2020, bersama Delonix regia yang sedang mekar-mekarnya, kebucinan saya turut memekarkan sebuah surat yang ditulis pakai otak. Bisakah ini dibilang bucin paling intelektual? Entahlah, silahkan nilai sendiri, wkwkwkwk. Untuk pertama kali saya ingin mempublikasi sebuah surat cinta yang saya pernah tuliskan kepada seseorang. Satu surat yang saya comot dari 11 surat yang pernah saya tulis untuknya (beruntung sekali dia, seumur hidup saya jarang menulis surat cinta). Draft aslinya hanya ada pada kami, berharap akan ia kembangkan menjadi novel terbarunya. Semoga!
Kepada Y,
Sepertinya saya telah kecanduan
menulis untukmu, sayang. Entah kenapa
ini lebih menyenangkan dan menenangkan dari pembicaaran-pembicaraan singkat
kita di chat maupun lewat telfon. Kehadiranmu akhir-akhir ini tampaknya sudah
menjadi sebuah diari ekspresi saya yang baru. Hanya saja belum semua mampu saya
utarakan, termasuk hal-hal di belakang saya yang banyak. Orang bilang masa lalu
adalah masa lalu, tidak perlu diingat apalagi itu hal yang buruk. Tapi saya
harus akui bahwa sekalipun buruk setidaknya masa lalu itu yang membawa saya
untuk bertahan sampai saat ini. Masa lalu juga adalah kendaraan saya untuk
bertemu dengan mu (mungkin).
Ada kerinduan untuk memberitahumu
semua, akan tetapi rasanya saya masih belum siap. Saya harap seiring dengan
waktu yang berjalan, saya bisa meragukan segala keraguan untuk menarasikan
semuanya kepadamu. Bisakah kau menunggu, sayang? Maafkan saya telah membuatmu
menuai kecewa (jika itu yang terjadi). Terima kasih mau bersabar dan memilih
untuk tidak memaksa saya agar segera cerita, walau kadang saya malah berlaku
sebaliknya terhadapmu. Wkwkwkwkk, sekali lagi maafkan pacarmu ini, sayang, yang
hanya dewasa di umur tapi jiwanya masih kekanak-kanakan.
Baiklah, sayang, sampai situ
dulu. Ada hal lain yang saya mau ceritakan.
Kau tau, sayang, pertanyaan saya
mengenai pernyataan “perempuan yang cerdas” sebenarnya dipicu oleh cerita
seorang teman kemarin seusai kami berdiskusi. Ada seorang lelaki, yang sempat
dekat dengan saya (di tahun 2017 bahkan beberapa bulan lalu sempat mampir lagi)
bercerita kepada teman saya terkait apa yang ia rasakan terhadap saya. Kau tau,
apa yang ia katakan? Ia menanggap saya perempuan yang terlalu cerdas baginya
sehingga ia memilih untuk menyerah terhadap perasaannya bagi saya. Jujur, tidak
ada rasa kecewa atau kurang hati di hati saya ketika mendengar hal tersebut.
Toh perasaan untuknya sudah banyak diganti oleh orang-orang yang silih berganti
singgah, termasuk kamu (semoga betah untuk tinggal terus di dalam hati saya
yang sudah reot ini). Yang menjadi pengusik dalam pemikiran saya adalah narasi
“perempuan cerdas ” itu. Tidak dipungkiri bahwa narasi perempuan yang terlalu
cerdas ini juga sering diutarakan oleh beberapa teman laki-laki saya bahkan
keluarga saya. Atau mungkin sudah menjadi keyakinan masyarakat kita secara
umum.
“jadi perempuan jangan terlalu
pintar, jangan terlalu kritis, nanti
tidak ada laki-laki yang mau. Nanti tidak menikah, nanti tidak ada
jodoh”
“jadi perempuan jangan terlalu
banyak baca buku, nanti laki-laki hanya akan selalu salah di depan matamu”
Saya ingin sekali membalikan pertanyaan : apakah pintar itu
adalah sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh manusia bernama laki-laki? Apakah
perempuan bukan manusia sehingga ia seolah tidak boleh memiliki kecerdasan?
Bukankah mereka sama-sama manusia yang sama-sama memiliki otak? Toh bedanya
hanya pada fungsi reproduksi”.
Bagi saya sendiri, bukan kah
bagus kalau perempuan itu cerdas, banyak baca dan paham banyak hal? Bukankah
perempuan lebih cenderung secara genetik untuk menurunkan kecerdasannya bagi
anak-anaknya? Bukankah bagus jika seorang suami mendapatkan seorang perempuan
cerdas yang bisa membantunya bekerjasama menjalankan sebuah bahtera keluarga,
membantu menyumbangkan pemikiran dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
terjadi dalam keluarga?
Ah kau benar, sayang. Masyarakat
kita adalah masyarakat yang masih memandang perempuan hanya sebatas di dapur,
sumur dan kasur. Hal itu bahkan sudah tersistem untuk waktu yang sangat lama.
Tentu saja ketika perempuan yang dianggap cerdas bisa membuat ego kepala rumah
tangga yang selama ini milik lelaki akibat konstruksi sosial terluka. Ego itu
takut didikte, takut dikepalai. Tapi terkait ego itu juga tergantung. Manusia,
bukan laki-laki saja yang punya ego. Perempuan juga. Karena merasa punya
kecerdasan bisa juga ingin jadi superior. Kesombongan inferior, kira-kira itu
istilah yang ingin saya sematkan kepada kaum-kaum yang menyebut diri mereka
feminis tapi merasa bahwa paham itu membawa tatanan baru bagi masyarakat kita
dimana perempuan yang dahulunya inferior bisa punya posisi superior.
Padahal feminisme itu bagi saya
sebenarnya hanya perkara kemanusiaan, dimana perempuan maupun laki-laki
diperlakukan atau memperlakukan satu sama lain selayaknya eksistensi mereka
sebagai manusia. Jika dikaitkan dengan isu kekerasan terhadap perempuan bagi
saya feminism is a healing. Ah, saya
tidak mampu menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia yang bagus untuk
menerjemahkan kalimat itu, sekalipun jika diterjemahkan lurus-lurus tetap
artinya tidak sebagus kalimat itu. Feminism
is a healing, karena dalam feminisme yang kita tau perempuan didorong untuk
saling menguatkan satu sama lain. Sehingga dapat dijadikan suatu terapi yang
baik dalam menyembuhkan trauma korban kekerasan. Tidak menutup kemungkinan juga
laki-laki yang memahami feminisme sebagai perkara kemanusiaan turut
berpartisipasi dalam proses healing
tersebut.
Pada akhirnya, segala urusan dan
masalah kemanusiaan adalah urusan memenajemen ego. Untuk saling menghargai dan
memahami, yang perlu dilakukan manusia pada dasarnya hanya mengatur
egonya. Ya kan, sayang? Kau setuju?
Terima kasih sudah bersedia
membacanya sampai habis, sayang. Jika ada yang ingin kau sampaikan
silahkan dibalas. Kalaupun tidak, saya tidak paksa. Wkwkwkwkwkkk
Saya ingin bilang lagi hal ini,
mungkin kau (sesuai pengakuanmu) tidak jago berbicara. Tapi saya selalu jatuh
cinta dengan buah pikirmu dalam setiap tulisan yang kau produksi. Kau selalu
keren saat menulis, sayang!
Rima
Kupang, 15 November 2020
Thanks kak Rima sudah mewakili para "perempuan cerdas" dengan surat ini
BalasHapus