Novel Mei Merah 1998, Naning Pranoto
Sebenarnya ini buku yang sudah
dibaca sejak Desember lalu namun bab terakhirnya diselesaikan pada hari kedua
di tahun baru. Bisa dibilang menamatkan buku ini adalah salah satu bentuk melanjutkan
resolusi 2021 yang tertunda sekaligus menjadi buku yang pertama diselesaikan di
2022… wkwkwkwkw
Dari judulnya sudah ketahuan
latar waktu dari novel ini. Novel ini mengangkat cerita dengan latar sejarah
kelam yang pernah terjadi di Indonesia; Pemerkosaan massal yang memulai
reformasi 1998. Sebuah peristiwa terror politik menggunakan tubuh perempuan.
Mengisahkan tentang seorang perempuan
berdarah cina, Humaira yang hijrah dari sebuah Desa di Yogayakarta ke ibukota untuk
mencari pekerjaan. Namun malang, hijrahnya itu berakhir tragis sebagai salah
satu korban pemerkosaan Mei 1998. Akibat pemerkosaan tersebut, Humaira hamil
dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Luk-Luk, lalu bunuh diri tidak
lama setelah melahirkan. Humaira mengisahkan semua cerita itu dari balik kubur
sambil menunggu Kamboja memberitakan kabar terbaru dari Luk-Luk anaknya yang
sedang mencarinya di dunia manusia. Selain cerita dari sudut pandang Humaira,
ada juga cerita dari sudut pandang tokoh-tokoh lain dari novel ini yang sarat
dengan kehidupan para perempuan yang masih bisa kita relasikan dengan kehidupan
sekarang.
Meski Humaira fiksi, peristiwa
berdarah yang dilukiskan oleh penulis membuat saya merinding saat membacanya.
Selain merinding, saya terpicu untuk mencari tahu lebih lanjut peristiwa
tersebut dan mendapatkan fakta-fakta yang mengiris hati. Sebelum membaca novel
ini, saya memang pernah mendengar tentang sejarah ini, namun belum mencari tahu
lebih lanjut .
Peristiwa tersebut ternyata
pernah dianggap hoax oleh sejumlah tokoh negeri ini padahal oleh Tim Pencari
Fakta yang dibentuk saat itu banyak korban yang melapor hal yang sama. Bahkan sampai
hari ini keadilan bagi korban peristiwa 20an tahun lalu itu belum ditegakan.
Saya jadi teringat perdebatan
panjang di twitter di awal tahun ini terhadap sebuah opini bahwa membaca cerita
fiksi hanya akan makin mengaburkan realitas sosial. Tapi bagi saya fiksi malahan
adalah cara membawa masyarakat kita lebih memahami realitas sosial yang terjadi.
Toh, tidak semua orang suka baca non-fiksi dan buku-buku non-fiksi biasanya mahal. Selain
itu tidak semua orang punya akses terhadap buku non-fiksi, bahkan juga fiksi. Dari
sini, saya berpendapat bahwa seperti pengalaman saya membaca Mei Merah 1998, juga novel-novel
lainnya bisa saja membuat orang terpacu untuk mencari tahu informasi
lanjutannya atau merelasikan dengan apa yang terjadi dengan realitas yang
terjadi. Baik Fiksi maupun Non-fiksi, buku tetap meruakan sumber pengetahuan
baru bagi pembacanya.
Jakarta, 02 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar