Langsung ke konten utama

Menggugat Rasio dan Rasa



Kepada Y,

Saya menuliskan ini saat kau mungkin tengah dipeluk oleh mimpi indah, semoga.

Sejak pembicaraan kita di malam minggu kemarin, terkait rasamu, ada satu lubang yang entah bagaimana muncul di hati saya. Lubang itu berusaha menarik saya masuk ke dalamya. Tarik tolak antara keinginan untuk malas tau dengan gravitasi yang disebabkan lubang itu membuat saya kesulitan untuk tidur. Apakah kejujuranmu tentang "adil terhadap rasa" telah membuat saya cemburu? Saya sampai saat ini masih berusaha keras menyangkal bahwa ini cemburu.

Saya berusaha merasionalisasi apa yang saya pikirkan tetapi kadang rasa sepertinya menang. Begitu terus, rasa dan rasionalitas berganti menguasai pikiran saya hingga tubuh mendatangkan protes bahwa ia lelah melalui rasa kantuk. Saya mau mengaku, saya adalah seorang overthinker. Segala kelelahan dalam hidup saya selalu disebabkan oleh kebiasaan ini. Berpikir positif? Rasanya susah sekali, karena saya selalu punya dua, tujuh, sembilan, sepuluh, seratus hal dalam kepala saya. 

Apakah mungkin juga karena saya perempuan? Manusia dengan kecenderungan menggunakan otak secara holistik, dengan sel saraf terkonsentrasi pada bagian kiri otak, sehingga cara berpikirnya selalu reflektif, intuitif dan subyektif. Inikah yang membuat saya (perempuan) mudah dipengaruhi lingkungan dan perasaan. Tidak seperti laki-laki yang dominan menggunakan hemisfer otak kirinya sehingga dapat mengendalikan emosi lebih baik? 

Ah tapi benarkah demikian? jangan-jangan ini cuma bias confirmatory para kaum rapuh untuk semakin mengokohkan keyakinan mereka yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat. Lihat? Saya pun masih meragukan buku psikologi yang saya baca.

Tentang cemburu, kira-kira begini saya berdialog dengan diri saya menggunakan akal (rasio) dan perasaan saya.

Rasio

Orang bilang cemburu tandanya sayang. Benarkah? Saya sendiri sangat tidak setuju dengan pernyataan ini. Pernyataan ini sering membuat mereka yang tengah berkasih ketika ingin membuktikan rasa sayang satu sama lain, berlomba menyakiti pasangannya dengan membuatnya cemburu.  Apanya yang sayang? Malah menyakiti dengan cara seperti itu akan menurunkan kadar rasa sayang bahkan rasa percaya. Jeleknya beberapa orang bahagia ketika mendapati kekasihnya cemburu. Toksik? bagi saya, IYA .

Saya dengan segala logika saya, ingin berkeyakinan bahwa cemburu adalah rasa yang ditimbulkan oleh besarnya keinginan untuk memilikimu seutuhnya. Dengan kata lain rasa sayang yang  diindikasikan dengan keberadaan cemburu adalah rasa sayang yang egois. Saya benci jika harus menjadi egois. Kita adalah pribadi yang berbeda, punya hidup masing-masing, punya rasa masing-masing, dipertemukanpun hanya oleh gelombang-gelombang elektromagnetik dan belum lama. Punya hak apa saya untuk merasa demikian? Seolah kamu adalah milik saya sendiri sehingga saya merasa punya hak atasmu.

Saya ingat dalam bukunya To have or to be, Erich Fromm menulis demikian;

"Kontrak pernikahan memberikan setiap orang kepemilikan atas tubuh, perasaan dan kasih sayang pasangannya. Cinta telah menjadi sesuatu yang mereka miliki, sebuah properti. Keduanya akan berusaha untuk bisa dicintai dan berhenti memproduksi cinta. Dengan begitu, mereka jadi membosankan. Mereka akan mudah kecewa dan bingung. Pada kenyataannya, kesadaran telah memiliki cinta membawa mereka berhenti mencintai."

Saya mungkin setuju dengan pernyataan di atas karena seolah menguatkan pandangan saya tentang konsep memiliki dalam sebuah hubungan. Tulisan tersebut yang memberi saya ide untuk menyatakan padamu agar tidak menyamakan hubungan kita seperti hubungan pernikahan. Yah, saya memang tipikal orang yang selalu take for granted (terima) terhadap apapun yang saya baca jika itu memenuhi standar logika berpikir saya. Saya ingin tau pendapatmu, apakah kau setuju jika saling menyayangi artinya saling memiliki?


Perasaan

Cemburu katanya hanya dirasakan oleh orang yang tidak percaya diri. Jujur, sejak awal saya berusaha memahami perasaanmu terhadap Widuri (yang saya sudah tau siapa nama aslinya).  Dari membaca apa yang kau tuliskan baginya dalam bukumu, saya mendapati bahwa kau sangat menyukainya. Proses memahami itu, tanpa sadar membawa saya pada rasa tidak percaya diri. Lebih-lebih, saat saya mulai nyaman dengan keberadaanmu yang hampir tiap hari. Jika saya tidak percaya diri, maka saya cemburu? Baiklah,  dengan konsep tersebut saya akui, saya cemburu.

Saat kau bilang ingin adil dengan rasa, saya mulai bertanya-tanya. Seluas apa rasamu pada saya dan seluas apa rasamu pada Widuri? Dengan menerima konsep kepemilikan cinta, ternyata konflik kepemilikan luasan lahan juga dapat terjadi pada hati. Lantas, pantaskah saya bertanya? Saya cuma pendatang. Bagaimana jika suatu hari saya digugat oleh pemiliknya? Bagaimana jika suatu hari tiba-tiba Widuri datang dan ingin me-reclaim luasan rasa yang kau miliki baginya?

Tentu sebagai pendatang yang sudah terlanjur nyaman, saya tidak punya hak untuk tetap bertahan. Pergi adalah satu-satunya pilihan sebab bertahan selalu menyakitkan. Saya bertanya lagi, apakah nanti kau maupun saya akan sama-sama sanggup melepaskan?

Tergantung. Iya tergantung ke mana luasan hati itu sedang dimiliki nantinya. Katamu "Kita tidak bisa menerka masa depan". Kita Lihat saja. Ada dualisme rasa yang hadir bersamaan dengan pernyataanmu itu, harap dan sakit.  Saya sudah pernah mencobakan diri saya dengan dua kemungkinan rasa itu terhadap F sebelumnya, jadi saya rasanya tau bagaimana rasanya tersingkir. Denganmu semoga berbeda, itu harapan. Akan tetapi, diantara kedua hal itu, saya harus tetap mempersiapkan diri kan?

Sial. Kenapa setiap tiba di tempat yang nyaman, tidak bisakah saya tinggal terus? Saya lelah menjadi musafir. Saya benar-benar ingin pulang ke rumah.

Terlepas dari analisis rasio dan perasaan tentang cemburu, memiliki dan mengada dalam cinta, saya mulai punya doa; semoga semesta memperkenankan bahagia untuk kita.

Saya sayang kamu, Y...

Kupang, 09 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Fer...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...