Langsung ke konten utama

Memaknai Ulang Militansi




Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya.

Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book!

Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi.

Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa diukur dengan seberapa malam dia harus bekerja, atau seberapa sering dia tidak mengambil cuti untuk berlibur, melainkan diukur dari seberapa efektif dia bekerja dan kontribusi apa yang dia berikan bagi pekerjaannya – pg 226

Membaca bagian tersebut saya jadi teringat perkataan seseorang rekan kerja saya di tempat kerja yang lama kepada seorang rekan lainnya yang ingin menghabiskan waktunya di rumah saat libur.

“tidak ada hari libur untuk kerja kemanusiaan”

Selama bekerja di bidang kemanusian, saya sering menemukan banyak teman yang suka sekali menjadikan alasan kemanusiaan sebagai tameng untuk tidak beristirahat. Mereka selalu menyebutnya sebagai militansi. Bahkan ada juga lembaga-lembaga tertentu yang mengatasnamakan bekerja untuk kemanusiaan tapi sama sekali tidak memanusiakan manusia-manusia yang bekerja untuk kemanusiaan. Lagi-lagi alasannya adalah militansi.

Tidak bisa saya pungkiri, saya juga pernah ada dalam pemikiran yang sama dengan mereka. Hingga pada akhirnya pemikiran itu membuat saya kelelahan dan keluar masuk rumah sakit. Mulai dari situ, setiap teringat perkataan rekan saya tersebut, saya selalu membatin “apanya yang kerja untuk kemanusiaan tapi lupa bahwa kita juga manusia?”

Pernyataan Haenim di ataspun turut menguatkan pemikiran saya dan jelas menyiratkan agar kita bisa memaknai ulang soal militansi. Militansi bukanlah tentang bekerja sampai lupa waktu atau tidak memberikan diri waktu untuk beristirahat, tapi bagaimana kita bekerja secara efektif berkontribusi bagi kemanusiaan.

Kita memang bekerja untuk kemanusiaan tapi jangan lupa kita juga manusia!

Akan tetapi, hal tersebut juga bukan berarti menjadikan kita bisa seenaknya buang-buang waktu dengan alasan beristirahat. Saya jadi bersyukur beberapa bulan terakhir bekerja di tempat kerja yang baru, saya telah berupaya semaksimal mungkin mengefektifkan pekerjaan saya dan benar-benar memiliki waktu untuk istirahat. Hal ini dipengaruhi juga oleh lingkungan saya bekerja dan rekan-rekan kerja baru yang supportif. Setiap kelelahan, mereka selalu mengingatkan saya untuk beristirahat.

Pada akhirnya, terima kasih kepada yang terkasih untuk early birthday gift ini. Buku ini telah menjadi sebuah penuntun berharga untuk menyelami kehidupan pribadi saya dan berefleksi tentang gairah, kebahagiaan, pengampunan, hubungan cinta, masa depan dan spiritualitas pada hari menjelang bertambah usia hidup di bumi.

Jakarta, 08 Juli 2022

Komentar

  1. Its looks like me..
    I have wrong about that too

    BalasHapus
    Balasan
    1. let us reflect again and be clear about it for our own shake then...
      semangaat ^^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...