Langsung ke konten utama

Kenapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun?


Kenapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun

Buku yang tipis tapi menarik. Berisi tiga essay dari tiga orang berbeda; Neil Gaiman, Julian Baggini dan Maggie Gram.

Essay pertama merupakan sebuah pidato yang disampaikan Neil Gaiman yang disampaikan dalam acara Reading Agency di London pada tahun 2013. Ada dua hal yang saya highlight dalam essay ini. Pertama, Gaiman berpendapat bahwa fiksi mempunyai dua fungsi yakni menumbuhkan minat baca dan melatih empati. Saya sepakat dengan Gaiman, sebab jika kalau bukan cerita-cerita fiksi anak-anak yang dibawakan Bapak sepulang kerja saat saya masih kecil, saya tidak punya kebiasaan dan kecintaan untuk membaca hingga saat ini. Selain itu, seiring dengan kebiasaan membaca fiksi-fiksi yang punya pesan moral, kritik terhadap situasi sosial beberapa tahun terakhir, kepekaan saya untuk bersolidaritas dengan mereka yang liyan, mereka yang termarjinalkan dan diperlakukan tidak adil semakin kuat (makin diperkuat lagi dengan melihat langsung). Jadi, walaupun kurang membaca buku teori-teori sosial dan non-fiksi yang secara jelas menyorot situasi yang ada di sekitar kita, membaca fiksi pun bisa menjadi pilihan. Sebab fiksi juga adalah kebohongan yang berisi kebenaran.

Kedua, Gaiman juga berpendapat bahwa perpustakaan adalah kebebasan. Yakni sebuah ruang di mana orang-orang punya kebebasan untuk membaca, berpikir, berkomunikasi, memperoleh akses ke informasi dan ruang punya ruang aman. Pernyataan tersebut seolah menjustifikasi alasan kenapa saya ingin mempunyai perpustakaan pribadi dan menyediakan space di kamar di rumah atau kosan untuk buku-buku saya. Perspustakaan adalah ruang aman saya, tempat saya hilang dalam lamunan bersama koleksi-koleksi fiksi saya setelah melalui hari-hari yang melelahkan mengurusi negara (ceilah). Saya selalu punya keinginan untuk mewariskan buku-buku kepada generasi saya kelak. Pun kalau pada akhirnya memilih untuk childfree, semoga koleksi buku di perpustakaan saya dapat dibaca keponakan atau siapapun yang datang mengunjungi perpustakaan saya. Walau saya bukan penulis fiksi bagi anak, saya ingin mewariskan imajinasi yang saya dapat dari buku-buku yang pernah saya baca kepada siapapun generasi setelah saya. Seperti harapan Gaiman untuk memberikan anak-anak dunia di mana mereka akan membaca dan dibacakan, berimajinasi dan memahami.

Di essay kedua, Julian Baggini menampilkan bukti-bukti yang mendukung perdebatan antara membaca buku fisik dengan e-reader secara berimbang. Pada akhirnya karena membaca itu sesuatu yang penting, maka pilihan menggunakan e-reader atau membaca buku fisik tergantung preferensi. Misalnya, saya sendiri lebih banyak membaca buku fisik karena selain terbiasa denga buku-buku fisik, buku-buku tersebut bisa saya peroleh langsung (dijual melalui marketplace yang bisa diakses). Sementara membaca menggunakan e-reader baru saya lakukan sejak tahun 2019, hanya untuk buku yang tidak tersedia dalam bentuk fisik di marketplace atau kalaupun tersedia, e-book biasanya lebih murah. Jadi pada kasus saya, pereferensi saya dibentuk karena akses dan kebiasaan.

Sementara di essay ketiga, Magie Gram memperkenalkan tentang audio-book, apa keuntungannya dan bagaimana keberadaan audio-book mendukung teman-teman tunanetra yang ingin membaca buku. Saya sendiri berkenalan dengan jenis buku ini tahun 2019, ketika belajar di Acukland. Host family saya waktu itu dapat membuat review novel Anna Karenina karena ia mendengarkan buku ini melalui pemutar audio di mobilnya setiap berkendara pergi dan pulang dari kantornya. Saya sempat mendengarkan buku tersebut ketika dia mengantarkan saya ke kampus. Hanya saja, belakangan ketika saya mencoba untuk mendengarkan audiobook, saya lebih cepat mengantuk. Sehingga, audiobook tidak cocok dengan saya. Kembali pada pernyataan pada essay kedua. Keberadaan inovasi-inovasi cara membaca buku memang mempermudah akses pada bacaan dan informasi. Namun kembali kepada preferensi. Di akhir essaynya, Magie juga menyatakan hal tersebut. Ada beberapa buku yang nyaman ia dengarkan dan ada yang memak lebih baik dibaca dari pada didengarkan.

Pada bagian epilog, si penerjemah, Ageng Indra membungkusnya dengan sangat baik. Menurutnya, perdebatan e-book dan audiobook harusnya melampaui tataran bahwa keduanya dapat menggantikan buku cetak. Melainkan tentang arah inovasinya. Akan menjadi masalah jika kehadiran keduanya terlalu memonopoli, mematikan toko-toko buku kecil, merebut pasar pembaca yang sudah ada dan gagal menjadi solusi atas akses buku yang selama ini tidak merata.

Pada akhirnya; Buku, apapun bentuknya, pantas dirayakan.

⭐⭐⭐⭐⭐

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Ferry T

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di