![]() |
Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis |
Buku ini merupakan salah satu dokumentasi pengetahuan dan pengalaman para pemandu/fasilitator maupun pelaku dalam menyelenggarakan proses belajar bersama masyarakat yang harapannya dapat menjadi bahan belajar fasilitator lain ataupun yang sedang belajar menjadi fasilitator pendidikan orang dewasa. Saya memperoleh buku ini saat mengikuti sebuah proses pendidikan kritis di Sulawesi Selatan, pada tahun 2017, 6 tahun yang lalu.
![]() |
Bersama Roem Topatimasang, salah satu editor buku Pendidikan Popular dan Penulis Buku Sekolah itu Candu |
Sebagai pembelajar ilmu pendidikan sewaktu kuliah, saya dapat katakan bahwa buku ini sangat menarik. Secara pribadi, jika buku Sekolah itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang adalah buku yang meletakan filsafah pendidikan untuk pembebasan bagi saya, buku ini adalah buku yang membongkar sistem pendidikan maupun metode pembelajaran yang selama ini tersistem di kepala saya saat belajar dan pernah menjadi seorang guru (walaupun konteksnya adalah pendidikan untuk orang dewasa). Dengan prinsip-prinsip dan beberapa contoh metode pembelajaran yang membaskan, saya jadi berefleksi banyak terkait model pendidikan, training maupn pelatihan yang pernah saya ikuti. Berikut adalah poin-poin yang saya dapatkan;
Pertama, sebelum memposisikan diri sebagai orang yang akan menjadi pelaku pembelajaran yang membebaskan, kita harus memiliki pemahaman terkait bagaimana prinsip dasar dalam pembelajaran yang membebaskan. Bahwa tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Pembelajaran untuk pembebasan adalah pembelajaran yang membangun kesadaran kritis terhadap sistem yang ada.
Kedua, ketika menjadi fasilitator, para peserta yang terlibat dalam pembelajaran yang kita lakukan harus dianggap setara. Hal ini merupakan praktek untuk meretas model guru-murid yang selama ini terlihat dalam sistem pendidikan mainstream. Model pendidikan tersebut hanya melanggengkan dominasi dan tidak mengakomodir pengetahuan peserta. Pembelajaran yang meletakan peserta sebagai objek adalah bentuk penjinakan dan oleh sebabnya menjadi bagian dari proses dehumanisasi. Dalam proses pendidikan yang membebaskan, fasilitator maupun peserta adalah sama-sama pembelajar, sama-sama subjek, sama-sama individu yang mempunyai pengetahuan.
Ketiga, pembelajaran harus merupakan hal yang kontekstual atau sesuai dengan situasi yang ada di sekitar peserta. Oleh karena itu dalam menyusun proses belajar, apa yang dipelajari bersama harus sesuai dengan kebutuhan peserta belajar. Bukan berdasar pada apa yang kita anggap harus dipahami oleh peserta. Sebab peserta memiliki situasi yang bisa saja berbeda-beda.
Keempat, sebagai fasilitator proses pembelajaran yang membebaskan, kita harus memahami bahwa suatu training bukanlah obat untuk segala penyakit. Justru, transformasi atau pembaharuan akan menimbulkan dua kesakitan. Kesakitan pertama menyangkut pelepasan kebiasaan dan kepercayaan lama. Kesakitan kedua menyangkut penerimaan cara-cara dan pola pikir baru. Misalnya dalam sebuah training yang bertujuan untuk membangun kesadaran feminis; kita tidak bisa berekspektasi bahwa ketika selesai training feminis orang-orang yang ikut langsung memiliki perspektif yang berubah, dan serta merta langsung menginternalisasi nilai-nilai feminis. Dua kesakitan itu butuh proses panjang dan lama.
Terakhir, saya cukup merekomendasikan buku ini sebagai salah satu pedoman penting dalam membangun model pembelajaran yang membebaskan dalam pendidikan orang dewasa. Terdapat beberapa metode dan contoh-contoh media maupun ice breaking menarik yang bisa dipakai.
⭐⭐⭐⭐⭐
Komentar
Posting Komentar