Langsung ke konten utama

Feminisasi Alam

Asal-Usul Ekofeminisme, Aurora Ponda

Beberapa hari yang lalu, saat menemani seorang teman dalam memfasilitasi sebuah pelatihan gender, menjelang penutup seorang peserta dalam kesimpulannya nyeletuk "blablabla Indonesia tidak disebut bapak perwira, tapi ibu pertiwi blablabla" 

Karena sedang membaca buku ini, saya juga ikut nyeletuk "Feminisasi alam". 

Apa itu feminisasi alam? 

Feminisasi alam secara sederhana diartikan sebagai alam yang diperempuankan. Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan istilah-istilah lainnya yang menganalogikan alam seperti perempuan tergolong dalam feminisasi alam. Menurut beberapa feminis, feminisasi alam merupakan hal umum yang terjadi dalam budaya patriarki. 

Pada masa perburuan, laki-laki akan keluar berburu sementara perempuan harus menetap di satu tempat karena fungsi biologisnya untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Sebagai insting untuk bertahan hidup saat laki-laki pergi berburu, Perempuan memanfaatkan tumbuhan di sekelilingnya untuk dimakan. Agar tumbuhan itu tetap ada, mereka kemudian menanam, menumbuhkan dan merawat tumbuhan tersebut untuk dimakan lagi. Perempuan kemudian membentuk budaya pertanian. Feminisasi alam sendiri muncul secara tidak sengaja karena budaya pertanian ini. 

Seiring dengan perkembangan konsep gender, para ekofeminis mulai mengkritik terkait feminisasi alam, salah satunya Greta Gaard yang pemikirannya menjadi inti dari buku ini. Bahwa alam adalah netral pada dirinya. Bukan laki-laki maupun perempuan. Gerakan ekofeminisme sendiri adalah realisasi bahwa alam dan perempuan sama-sama perlu dibebaskan. 

Dengan berdasarkan pada kritik tersebut, penulis melacak asal-usul penggunaan metafora bumi dari terori-teori filsafat hingga mitos-mitos yang berkembang di beberapa belahan dunia. Hal menarik yang saya temukan dari membaca buku ini adalah di beberapa tempat, seperti Suku Indian di Amerika, Bangsa Yunani, masyarakat adat Wologai di NTT, Suku Sunda di Jawa Barat metafora Ibu Bumi merupakan sebuah representasi manusia memandang alam layaknya seorang ibu yang memberi banyak hal pada anaknya. Sayangnya, metafora Ibu Bumi yang berkembang saat ini memunculkan anggapan bahwa alam dan perempuan sama-sama sebagai wujud yang lemah. 

Tidak heran bahwa di dalam gerakan sekalipun, saya pernah mendengar beberapa istilah yang menurut saya kasar dari sekelompok aktivis lingkungan seperti; "alam dikangkangi", "alam diperkosa" dan bahasa-bahasa berkonotasi negatif lainnya tentang alam yang dikaitkan dengan perempuan. Bahkan Ibu Bumi atau Mother Earth sendiri juga dipakai oleh negara-negara utara (pelaku kapitalisme) untuk mengkampanyekan keselamatan lingkungan pada hari bumi (kita tau arah ini ke mana ya). 

Anyway, setelah membaca buku ini, saya jadi berkesimpulan bahwa; dalam penggunaan istilah apapun, memang penting ya untuk memastikan kembali asal-usul istilah tersebut. Hal ini bertujuan agar kita tidak terjebak konotasi dan makna yang bias. Sebab hari ini, banyak istilah telah dikooptasi untuk memfasilitasi patriarki dan kapitalisme tumbuh subur dalam masyarakat kita. Dalam batok kepala kita! 

Salah satu perjuangan kita sekarang adalah merebut kembali makna. Karenanya, banyak-banyaklah membaca buku! Perspektif demi perspektif yang diperoleh akan membawamu kepada keberpihakan yang sebenarnya. 

⭐⭐⭐⭐


Jakarta, 15 September 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di

30 Hari Bercerita Day 09 : Matilda

Di hari Sabtu kemarin saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel anak-anak karya Road Dahl, Matilda. Mungkin banyak yang sudah sering mendengar atau pernah menonton film dan membaca novelnya. Saya sendiri baru membaca beberapa lembar fiksi anak-anak ini. Karna itu apa yang akan saya ceritakan di sini mungkin agak sedikit berbeda dengan novelnya. Di netflix, ada dua versi film Matilda yakni versi biasa yang diproduksi pada tahun 1996 dan versi musikal yang diproduksi tahun 2022. Saya menonton versi musikalnya. Persis seperti novelnya, Film tersebut menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Matilda yang sejak balita sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Di usia tersebut ia sudah bisa membaca dan melahap banyak buku bacaan. Ia bahkan sering pergi sendiri ke perpustakaan dan menghabiskan waktunya di sana dengan membaca banyak buku. Sayang, di saat orang tua lain membanggakan anak mereka yang cerdas, orang tuanya malah menyebut Matilda sebagai anak yang aneh dan mem