Langsung ke konten utama

My Crazy Feminist Girlfriend



Ini adalah salah satu buku yang menemani perjalanan kontemplasi saya di Jogja. Saya menyelesaikan buku ini di dua kedai buku berturut-turut dalam sehari wkwkwkwk. Entah suasana dua toko buku di Jogja ini yang nyaman, atau karena punya waktu luang yang panjang tanpa harus memikirkan kerjaan atau ceritanya yang menarik. Tapi saya rasa ketiganya jadi alasan pendukung.

Kurang lebih buku ini bercerita tentang seorang laki-laki yang sempat berpisah (putus) selama 4 tahun dengan pacarnya kemudian bertemu lagi dan kembali berpacaran. Saat kembali berpacaran, perempuan kekasihnya sudah menjadi seorang feminis garis keras korea (Megalia). Sang laki-laki yang notabene isi kepalanya masih patriakis garis keras berupaya untuk mengubah pacarnya yang ia sebut sebagai feminis gila. Bisa kebayang kan bagaimana toksik nya hubungan ini. Si laki-laki yang ingin sekali mengatur, mengekang dan merasa ingin diandalkan harus bertengkar tiap hari dengan kekasih feminisnya yang keras kepala. Saat pacarnya yang ia sebut "Perempuan Itu" mengalami kendala dan akhirnya mau tidak mau dibantu olehnya membuatnya merasa menang. Yang bikin kesal adalah ketika pacarnya dilecehkan di tempat kerja dan tidak ada yang membelanya, ia memang memperlihatkan dukungan tapi masih saja menyalahkan pacarnya. Hubungan ini mencapai puncak saat mereka membahas pernikahan, karena si laki-laki dipaksa oleh keluarganya untuk menikah sementara pacarnya memilih untuk tidak menikah.

Ada beberapa hal yang menarik dari novel ini. Pertama, novel ini berangkat dari sudut pandang laki-laki. Penulis seolah ingin menghilight bagaimana pikiran dan kehidupan laki-laki patriarkis. Kedua, saya penasaran apa yang mengubah perempuan itu menjadi seorang feminis yang sangat keras itu. Ya bisa jadi dia punya pengalaman tersendiri saat mereka berpisah dan akhirnya memilih feminisme sebagai jalan pembebasan. Ketiga, penulis juga mungkin mau menyampaikan bahwa laki-laki juga adalah korban dari patriarki. Hal ini berkaitan dengan bagaimana laki-laki itu juga mendapatkan banyak tuntutan dalam hidupnya. Walau tidak sebanyak tuntutan yang diterima pacarnya. Keempat, sikap perempuan feminis yang digambarkan dalam novel tersebut terhadap si laki-laki sempat membuat saya kesal. Tapi ya itu tadi, pasti ada alasan yang membuat si perempuan itu bersikap sangat keras terhadap laki-laki (pacarnya).

Yang terakhir, saya suka dengan tanggapan di bagian akhir buku ini oleh Asri Pratiwi Wulandari. Bahwa feminisme adalah alat baca supaya kita bisa melihat, menemukan, dan mengenali ketidakadilan yang kenyataannya terjadi pada perempuan. Ia juga mengkritik bahwa sebagai feminis, apakah kita sudah benar-benar melawan ketidakadilan? Jangan sampai kita sudah merasa menjadi the saviour of broken, the beaten and damned tanpa melakukan otokritik atas pemikiran dan tindakan kita.

Sepanjang membaca baik narasi maupun percakapan-percakapan keduanya, saya dibikin tertawa miris. Sebab, kisah ini sedikit mirip dengan pengalaman saya saat terakhir dekat dengan seorang laki-laki. Mungkin kenapa novel ini bisa datang kepada saya di saat sedang mempertanyakan kesalahan saya seusai mengakhiri hubungan yang toksik adalah supaya saya bisa lebih peka dengan redflag pemicu hubungan yang toksik. Selain itu juga, mungkin otokritik terdahap diri saya sendiri atas pemikiran yang sering sekali membabi buta menyerang pemikiran laki-laki itu hingga saya dicap egois.

Saya beri 5 bintang untuk novel ini dan sangat merekomendasikan teman-teman feminis saya untuk membacanya. heheheh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya dan ELTA IX NTT : Lika-Liku Pendaftaran

Sebagai tulisan kedua dalam blog ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya mengikuti seleksi program English Language Training Assistance (ELTA) tahun 2018 sebelum ingatan saya usang dan dibawa kabur oleh waktu. 😁 Harapan saya tulisan ini dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang pernah ditanyakan kepada saya. Let’s check it out! Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu apa itu ELTA dan bagaimana cara untuk mendaftarkan diri dalam program ini. Well , English Language Training Assistance (ELTA) adalah sebuah program bantuan Bahasa Inggris yang dirancang untuk menunjang para scholarship hunter dengan mimpi untuk melanjutkan studi magister di luar negeri tapi masih memiliki kemampuan Bahasa Inggris dibawah persyaratan minimal yakni IELTS 5.0. Selain meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris di empat area keterampilan ( listening, reading, writing dan speaking ) dalam waktu 3 bulan, pelatihan ini juga mencakup strategi dalam melaksanakan tes untuk memperoleh nilai IELTS...

Sebuah Catatan dari Kamis, 24 Oktober 2019

Setelah memasuki minggu-minggu Sustainable Development Course , kamis adalah hari di mana peserta program INSPIRASI 2019 melakukan visit atau kunjungan ke lembaga atau organisasi maupun individu yang berkaitan dengan minat belajar ( special interest ) – nya masing-masing. Hari itu saya mempunyai dua jadwal kunjungan. Di Pagi hari saya harus mengunjungi salah satu lembaga advokasi lingkungan hidup pada jaringan internasional, Greenpeace New Zealand yang kebetulan bermarkas di Mount Eden, Kota Auckland. Lalu pada siang hari saya harus bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan remaja yang menyebut komunitas mereka Para Kore Ki Tamaki atau komunitas Zero Waste Auckland di Western Springs College. Greenpeace New Zealand Untuk tiba di kantor Greenpeace, pagi itu, seperti pada hari kuliah biasa saya harus menggunakan kapal Ferry ke City Center (pusat kota) selama 30 menit   dari Hobsonville, sebuah wilayah suburban tempat saya tinggal bersama host family. Sesampainya di Downtown Fer...

Science Alkohol Dalam Isu Sosial Budaya di Indonesia

  Di awal 2019, jika kita mengikuti perkembangan berita tentang pemerintahan di beberapa daerah Indonesia Timur maka akan kita temukan dua daerah dengan pemberitaan yang mirip namun kontroversi. Dua Daerah itu adalah NTT dan Maluku. Saat itu, Viktor B. Laiskodat yang baru saja menjabat sebagai Gubernur NTT selama beberapa bulan, muncul dengan gagasan untuk melegalkan Sopi. Selain alasan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, minuman alkohol tradisional tersebut dilegalkan sebagai bentuk upaya pelestarian budaya NTT.  Sementara itu, di Provinsi tetangganya, Maluku, Murad Ismail selaku Gubernur menolak dengan tegas legalisasi Sopi. Dilansir dari media online Suara.com (28/06/2019), Murad menyatakan bahwa Maluku berbeda dengan NTT, Manado dan Bali yang sudah melegalkan minuman tradisonal mereka. Maluku memiliki masyarakat yang beragam karakteristiknya sehingga akan memicu konflik diantara masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minuman beralkohol sekalipun dalam aspek bud...