Langsung ke konten utama

30 Hari Bercerita Day 09 : Matilda



Di hari Sabtu kemarin saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel anak-anak karya Road Dahl, Matilda. Mungkin banyak yang sudah sering mendengar atau pernah menonton film dan membaca novelnya. Saya sendiri baru membaca beberapa lembar fiksi anak-anak ini. Karna itu apa yang akan saya ceritakan di sini mungkin agak sedikit berbeda dengan novelnya.

Di netflix, ada dua versi film Matilda yakni versi biasa yang diproduksi pada tahun 1996 dan versi musikal yang diproduksi tahun 2022. Saya menonton versi musikalnya. Persis seperti novelnya, Film tersebut menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Matilda yang sejak balita sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Di usia tersebut ia sudah bisa membaca dan melahap banyak buku bacaan. Ia bahkan sering pergi sendiri ke perpustakaan dan menghabiskan waktunya di sana dengan membaca banyak buku. Sayang, di saat orang tua lain membanggakan anak mereka yang cerdas, orang tuanya malah menyebut Matilda sebagai anak yang aneh dan memperlakukannya dengan tidak adil. Namun, dengan kecerdasannya ia tidak tinggal diam dengan sikap orang tuanya. Banyak hal konyol yang dilakukan oleh Matilda untuk melakukan protes kepada ketidakadilan yang dilakukan oleh orang tuanya.

Maka dari itu, merasa anaknya tidak bisa diatur Matilda kemudian disekolahkan di sebuah sekolah yang dikepalai oleh Mrs. Trunchbull. Seorang kepala sekolah yang licik, jahat dan antikritik. Ia mengelolah sekolah dengan sangat militer. Ia adalah sebagai seorang mantan atlet terkenal dalam jenis olahraga seperti lembar lembing, lempar palu dan tolak peluru. Karena itu, jika ada anak-anak yang tidak disiplin dan melanggar aturan sekiolah, maka mereka akan dilempar keluar kelas, bahkan keluar pagar sekolah. Bagi saya ini sebuah cerita anak-anak dengan sistem sekolah yang sangat kejam. Namun, Matilda adalah siswa yang cerdas dan sadar dengan sistem yang tidak adil itu. Ia berdiri dengan berani untuk menentang si Kepala Sekolah yang kejam dan otoriter.

“Just because you find that life's not fair, it doesn't mean that you just have to grin and bear it. If you always take it on the chin and wear it, nothing will change. Even if you're little you can do a lot, you mustn't let a little thing like 'little' stop you. If you sit around and get on top you, might as well be saying you think that it's okay, and that's not right!”
― Matilda the Musical

Selain mengkritik pola asuh orang tua, menurut saya Matilda adalah cerita yang mengkritik sistem sekolah. Sistem dimana siswa ditundukan oleh aturan-aturan yang dibuat oleh orang dewasa di sekolah dan membungkam daya kreatif bahkan imajinasi siswa. Sekolah digambarkan dalam cerita tersebut sebagai suatu tempat yang menakutkan, bahkan mungkin, bisa saja membunuh siswanya. Walau dalam adegan yang dilakukan oleh Mrs. Trunchbull siswa tidak mengalami kematian, namun cidera yang bisa dibilang serius juga.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Dalam satu plot, anak-anak di sekolah tersebut bernyanyi sambil berharap ingin menjadi dewasa dan bebas melakukan ini itu. Padahal jika kita kaitkan dengan situasi sekarang, justru ketika anak-anak menjadi dewasa mereka tidak akan bisa memperoleh kebebasan seperti yang mereka inginkan. Apalagi dengan sistem sekolah sejak kecil mempersiapkan mereka menjadi pesaing dalam dunia kapitalisme. Sistem sekolah seperti ini hanya akan merenggut sesuatu dari anak-anak, yaitu kebebasan. Sebuah hak yang mungkin saat dewasa sulit ia peroleh. Bisa jadi, ini salah satu sebab muncul istilah "anak kecil dalam tubuh orang dewasa" dalam teori psikologi.

Dalam pandanganku, anak-anak akan menjadi dewasa dalam dunia (sistem saat ini) yang tidak memberi mereka kebebasan. Jadi harusnya sejak kecil kebebasan mereka tidak boleh dipenjara dalam sistem sekolah atau tuntutan orang tua yang mengharuskan mereka menghabiskan waktu untuk belajar ketimbang bermain dan bebas melakukan hal-hal yang mereka sukai. Tentunya dengan dampingan yang tidak mengekang dari orang tua!

Sekolah harus kembali ke makna harafiahnya, yakni schola, skhole, scolae, scola (bahasa latin) yang artinya waktu luang atau waktu senggang yang digunakan untuk belajar.

Terakhir, jika Nayla dalam buku "Kenapa Aku Harus Membaca" menganggap novel Road Dahl kejam kepada Matilda karena membuatnya membaca buku tapi tidak dituliskan cara ia menyalurkan pengetahuannya, maka di film ini Matilda malah membuat sebuah cerita yang penuh imajinasi dengan si pustakawati, Mrs. Phelps sebagai pendengar setianya.


#30haribercerita #30hbc2409

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Militansi

Seperti tahun sebelumnya, menjelang ulang tahun saya selalu memperoleh early bithday gift berupa buku dari orang-orang terkasih. Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan buku apa yang sangat ingin saya miliki di hari ulang tahun. Saat itu saya baru saja membaca review sebuah buku di goodreads. Buku tersebut adalah The Things You Can See Only When You Slow Down yang ditulis oleh seorang biksu asal korea; Haemin Sunim. Saya kemudian menyebutkan judul buku tersebut kepadanya dan tak sampai 2 hari, buku itu sampai ke tangan saya. Saat membuka bungkusan, awalnya saya hanya berniat membaca buku ini beberapa halaman saja. Namun, karena gaya penulisan yang mengalir dan isinya yang cukup “ngena” dengan kehidupan pribadi, saya langsung menyelesaikannya saat itu juga. What a lovely book! Dari sebagian banyak tulisannya yang memicu refleksi, ada satu bagian yang membekas bagi saya hingga membuat saya memaknai ulang arti sebuah militansi. Pengabdian seseorang kepada suatu pekerjaan tidak bisa di

Feminisasi Alam

Asal-Usul Ekofeminisme, Aurora Ponda Beberapa hari yang lalu, saat menemani seorang teman dalam memfasilitasi sebuah pelatihan gender, menjelang penutup seorang peserta dalam kesimpulannya nyeletuk "blablabla Indonesia tidak disebut bapak perwira, tapi ibu pertiwi blablabla"  Karena sedang membaca buku ini, saya juga ikut nyeletuk "Feminisasi alam".  Apa itu feminisasi alam?  Feminisasi alam secara sederhana diartikan sebagai alam yang diperempuankan. Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan istilah-istilah lainnya yang menganalogikan alam seperti perempuan tergolong dalam feminisasi alam. Menurut beberapa feminis, feminisasi alam merupakan hal umum yang terjadi dalam budaya patriarki.  Pada masa perburuan, laki-laki akan keluar berburu sementara perempuan harus menetap di satu tempat karena fungsi biologisnya untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Sebagai insting untuk bertahan hidup saat laki-laki pergi berburu, Perempuan memanfaatkan tumbuhan di sekelilingnya untuk dimakan. Aga