Mumpung ini hari terakhir pendaftaran INSPIRASI untuk angkatan 2024, saya ingin sharing sedikit tentang model pembelajaran yang saya dapat dari program keren ini.
Model Pembelajaran Transformatif.
Dalam buku Belajar Kritis dari
Luar Sekolah (Nurhady Sirimorok, 2020), pembelajaran transformatif didefinisikan sebagai model pembelajaran yang mengusahakan
kebiasaan merenung (habit of reflection). Dengan kata lain, pembelajaran transformatif akan terbentuk
jika seseorang punya kebiasaan merenung, sebuah kebiasaan yang sudah semakin
sulit dilakukan. Apalagi di zaman lalulintas informasi yang berebut mengasupi
kita setiap detik dan membuat kita mudah terpengaruh dan menyebarkan
informasi yang tidak benar (hoax). Dengan merenung, tujuan utama pembelajaran transformatif
yakni membentuk individu yang toleran sekaligus kritis dengan terhadap beraneka
ragam pandangan, baik milik sendiri maupun yang dipercaya orang lain dapat etrcapai.
Saya tidak tahu apakah di angkatan
setelah saya, menulis jurnal refleksi masih dilakukan atau tidak. Tapi di tahun
2019, kami diminta untuk menuliskan sebuah jurnal refleksi mingguan, tentang apa yang kami pelajari sepanjang minggu tersebut. Kebiasaan ini memberi
saya secara pribadi waktu untuk melihat kembali apa saja yang sudah saya
pelajari dan bagaimana itu bisa berkontribusi dalam minat saya. Tentunya dengan
bantuan otak kedua saya; Buku Catatan (sejelek-jeleknya tulisan tangan
saya, ia lebih bagus dari ingatan saya hehehe). Selain itu, sebelum mendaftar
saya memang punya pertanyaan besar tentang apa yang saya mau pelajari selama proses
belajar di NZ. Pertanyaan inilah yang membimbing saya untuk menarik dan mengelaborasi hal-hal yang
saya peroleh. Di setiap akhir jurnal refleksi saya, saya selalu punya ide baru tentang
perubahan apa yang saya mau lakukan saat kembali ke Kupang.
Salah satu saran pembelajaran
transformatif adalah perubahan pola pikir bisa terjadi dalam proses kolektif. Di
Program tersebut, saya ada dalam satu ekosistem belajar yang pesertanya terdiri
dari orang-orang muda yang berasal dari beragam latar belakang pekerjaan dan
pengetahuan. Ada pegiat sastra, lingkungan, perempuan, masyarakat adat, buruh,
pendidikan, disabilitas, enterpreneur dan teolog.
Dalam kelas program INSPIRASI,
setiap minggu kami disuguhi topik yang berbeda-beda. Topik-topik tersebut dikuasai
masing-masing peserta, sehingga kami yang tidak paham dijadikan paham melalui
sharing yang dilakukan oleh peserta lain. Diskusi yang terbangun juga menjadi
lebih luas dan menuai perdebatan-perdebatan yang bisa dipertanggungjwabkan.
Berhubung semua peserta sama-sama berasal dari Indonesia Timur, kami jadi
memahami perbedaan maupun kesamaan konteks dalam masing-masing isu. Saya
secara pribadi memperoleh pemahaman yang bisa dikatakan lebih luas dari sebelumnya. Ditambah lagi lingkungan belajar kami memudahkan akses kami kepada literasi, baik itu
di perpustakaan kampus maupun perpustakaan publik. Kami masing-masing juga berkesempatan
mengunjungi lembaga, organisasi, NGO, atau kelompok aktivis dan masyarakat adat
untuk menggali hal-hal yang berkaitan dengan minat kami. Untuk mempertajam
analisis proposal yang akan kami tulis di akhir program, kami dimentori oleh beragam
expert sesuai minat kami. Mereka secara sukarela membantu mengembangkan pemahaman
kami melalui diskusi-diskusi khusus.
![]() |
INSPIRASI 2019 |
Mentor saya adalah seorang professor di Fakultas Psikologi Universitas Auckland. Bagi saya beliau adalah sosok yang luar biasa. Meskipun ia adalah seorang profesor, dalam setiap proses mentoring, saya diajak untuk berdiskusi bukan digurui. Pengetahuan saya dianggap sebagai pengetahuan baru baginya sehingga berdialog dengan beliau adalah proses yang menyenangkan dan sangat membangun. Ide hingga penyelesaian field project proposal saya kebanyakan didapatkan dari diskusi kami. Saya akan ceritakan khusus tentang beliau di postingan lain.
![]() |
Saya dan Mentor Saya, Niki Harre |
Menutup tulisan acakkadul ini, saya ingin menekankan satu hal; bahwa percayalah dalam kelas ini kamu tidak dianggap sebagai orang yang datang dengan isi kepala yang kosong. Hal ini sejalan dengan kepercayaan pembelajaran transformatif bahwa setiap orang memiliki pengetahuannya masing-masing, sehingga metode pembelajaran yang dilakukan adalah model pertukaran ide dalam diskusi, debat, dan refleksi. Keberadaan fasilitator dalam setiap pembelajaran yang transformatif hanya memoderasi proses pertukaran pengetahuan itu. Bukan menggurui atau menceramahi, layaknya mengisi ember kosong dengan air.
So, tertarik mendaftar?
#30haribercerita #30hbc2414
Komentar
Posting Komentar